jika RADEN ADIPATI ARYO COKRONAGORO I berjiwa seperti kiai, sunan atau
ulama besar tidak lain karena di dalam darahnya mengalir nilai-nilai
Islam para kiai atau sunan yang menjadi pendahulunya. Misalnya seperti
Kiai Nosingo (Wonosingo) yang merupakan kakeknya atau bahkan dengan
Sunan Geseng.
Sunan Geseng adalah murid dari ulama besar Jawa,
yakni Sunan Kalijogo. Sebutan Sunan Geseng diberikan Sunan Kalijaga
kepada Kiai Cokrojoyo I karena begitu setia terhadap perintahnya
sehingga merelakan badannya menjadi hangus (geseng).
Alkisah,
setelah ditinggal ibundanya (yakni Nyai Ageng Bagelen atau Raden Rara
Rengganis), Bagus Gentho melanjutkan hidupnya di desa Bagelen. Pekerjaan
sehari-hari dilakukan menjadi petani seperti kebiasaan para leluhur.
Setelah dewasa ia menikah dan memperoleh putra yang diberi nama Raden
Damarmoyo.
Raden Damarmoyo mempunyai putri bernama Raden Rara
Rengganis II yang setelah dewasa menikah dengan Kiai Pakotesan.
Pernikahan mereka menghasilkan keturunan, yakni Pangeran Semono atau
sering disebut Pangeran Muryo. Dari hasil pernikahan Pangeran Semono
inilah Kiai Cokrojoyo I lahir untuk mencicipi kehidupan di dunia dan
kemudian dikenal sebagai Sunan Geseng
Saat Kiai Cokrojoyo I
beranjak dewasa, Islam sedang mengalir deras ke Tanah Jawa. Penyebabnya
tak lain karena sepak terjang para wali yang sangat gigih menyebarkan
Islam di Tanah Jawa (baca: Pusat Pengembangan Peradaban Islam Madani).
Di tengah fanatisme masyarakat penganut Hindu, Budha maupun Dinamisme,
Sembilan Wali menyebarkan Islam ke Tanah Jawa mulai penghujung abad 14
sampai pertengahan abad 16. Para Wali Allah tersebut tinggal di tiga
wilayah strategis pantai utara Jawa, yakni Jawa Timur
(Surabaya-Gresik-Lamongan), Jawa Tengah (Demak-Kudus-Muria) dan Jawa
Barat (Cirebon).
Di Jawa Tengah yang menjadi pemimpin wali Allah
dalam menyebarkan Islam termasuk Sunan Kalijogo. Ia sering berkelana
keliling menyiarkan Islam sampai di pelosok desa maupun hutan .
Pada
suatu hari Sunan Kalijogo singgah di kediaman Kiai Cokrojoyo I karena
mendengar kiprah anak Pangeran Semono ini dalam menyebarkan Islam di
daerahnya. Sewaktu tiba, Cokrojoyo sedang mencetak aren sambil bernyanyi
dengan santai (Jawa: uro-uro).
Setelah mengucapkan salam, Sunan
Kalijaga bertanya; "Berapa hasilnya setelah menjadi gula?" Cokrojoyo
menjawab seketika; ”hanya cukup untuk menghidupi orang melarat”. Sunan
Kalijaga lalu berkata; ”Coba gantikanlah uran-uran-mu dengan Surat
Kalimah Syahadat. "Kemarilah biar aku ajarkan membacanya dan nanti jika
gulanya telah tercetak bawalah kemari, aku akan melihatnya," ujar
Kalijaga lebih lanjut.
Setelah mengucapkan Surat Kalimah
Syahadat, Cokrojoyo meneruskan kerjanya, dan sesudah gulanya dicetak ia
tutupi dengan tampi. Kemudian cetakan gula itu diserahkan ke Sunan
Kalijaga. Namun betapa takjubnya ketika tutup gula itu diangkat oleh
Sunan Kalijaga, dilihatnya gula aren yang baru dibuat telah berubah
menjadi emas. Ia pun langsung diam terpaku hingga beberapa saat.
Sewaktu
sadar, Sunan Kalijaga sudah tak di tempat. Dengan bergegas (Jawa:
guralawan) Cokrojoyo mengejar dan setelah berhasil menyusul ia langsung
bersimpuh pada lutut Kalijaga. Sambil berlutut ia memohon agar
diperkenankan menjadi muridnya. Dikisahkan Sunan Kalijaga mengatakan;
”Anakku (Jawa: jebeng) jika sungguh-sungguh ingin menjadi murid, maka
kau harus bertapa sujud di tempat ini dan jangan pergi sebelum aku
datang.” Setelah berkata demikian, Kalijaga sirna dari pandangan dalam
sekejap.
Syahdan, Kalijaga baru teringat dengan peristiwa itu
ketika lewat di desa Bagelen dalam rangka syiar Islam keliling. Kemudian
para pengikutnya diperintahkan untuk mencari tempat bertapa Kiai
Cokrojoyo I. Namun karena sudah dipenuhi alang-alang dan tumbuhan liar
setinggi manusia, maka tak seorangpun berhasil menemukan.
Sunan
Kalijogo kemudian memerintahkan untuk membabat seluruh tumbuh-tumbuhan
yang menutupi tempat itu. Tapi sekali lagi, upaya itu sia-sia. Akhirnya
tak ada jalan lain kecuali membakar seluruh alang-alang dan semua
tumbuhan yang telah dibabat. Dikisahkan walaupun alang-alang dan
dahan-dahan tumbuhan masih basah, ketika didoakan oleh Sunan Kalijaga,
api langsung menyala berkobar-kobar seperti kebakaran hutan besar.
Peristiwa itu membuat penduduk di sekitarnya menjadi cemas dan
ketakutan.
Setelah api reda dan semua tumbuh-tumbuhan rata dengan
tanah, terlihatlah tubuh Kiai Cokrojoyo I masih dalam posisi sujud
namun telah hitam hangus. Walaupun seperti tak bernyawa, namun denyut
jantungnya masih berdetak dengan sangat lemah.
Sunan Kalijaga
mendekati tubuh hangus itu sambil berkata; ”Hai Cokrojoyo bangunlah.
Jangan enak-enak tidur, aku datang”. Seketika Cokrojoyo tersentak dan
begitu melihat sang guru ia langsung bersimpuh.
Kiai Cokrojoyo I
kemudian mendapat wisik ”manunggalnya kawulo dengan gusti”, yang berarti
dirinya telah mencapai tingkat kesempurnaan tertentu. Setelah menerima
berkah Sunan Kalijaga, hatinya merasa semakin terang (dalam istilah
Jawa: kadyo mendung ingkang kabuncang ing samirono, narawang lir pendah
saged muluk ing ngawiyat).
Sunan Kalijogo meneruskan wejangan
kepada Cokrojoyo. Dikatakan, atas kemurahan Allah Yang Maha Kuasa,
Cokrojoyo telah terbuka (Jawa: tinarbuko) memperoleh Wahyu Wali.
Kalijogo meneruskan ucapannya; "Karena badanmu hangus (geseng), pakailah
nama Sunan Geseng dan mulailah bermukim (Jawa: tetruko) di hutan Loano.
Hutan ini kelak akan menjadi desa ramai dan akan menjadi tempat tinggal
para keturunan raja."
Sunan Geseng mengembara menyebarkan agama
Islam sampai ke desa Jatinom, sekitar 10 kilometer arah utara kota
Klaten. Penduduk Jatinom mengenal Sunan Geseng dengan sebutan Ki Ageng
Gribig, karena ia senang tinggal di rumah beratap gribig (anyaman daun
nyiur).
Menurut legenda, ketika Ki Ageng Gribig pulang menunaikan
ibadah haji, dilihatnya penduduk Jatinom sedang kelaparan. Ia kemudian
membagikan sepotong kue apem kepada ratusan orang yang kelaparan. Kepada
semua orang yang menerima secuil kue itu disuruhnya makan sambil
berzikir: Ya-Qowiyyu (Allah Maha Kuat). Anehnya, seketika semuanya
merasa kenyang dan sehat. Sampai kini, masyarakat Jatinom masih
menyelenggarakan upacara ”Ya-Qowiyyu” setiap bulan Syafar.
Upacara
itu dimulai masyarakat dengan membuat kue apem lalu disetorkan ke
masjid. Apem yang terkumpul hingga 40 ton itu berjumlah sekitar ratusan
ribu potong. Puncak upacara berlangsung usai shalat Jumat. Dari menara
masjid, kue apem disebarkan oleh para santri sambil berzikir; "Ya
Qowiyyu..." Ribuan orang yang menghadiri upacara itu kemudian
memperebutkan apem ”gotong royong” yang disebut apem ”Jokowiyu”.
Dikisahkan
setelah 40 tahun kemudian, yang bertahta di kerajaan Mataram adalah
Kangjeng Sinuwun Anyokrowati (1612-1621). Istri prameswarinya adalah
Kanjeng Ratu Mas Hadi, putri dari Pangeran Adipati Benowo di Pajang.
Pangeran Adipati Benowo ini adalah putra dari Joko Tingkir (Kangjeng
Sinuwun Hadiwijoyo).
Kangjeng Sinuwun Anyokrowati mempunyai kakak
laki-laki bernama Pangeran Wiromenggolo yang berambisi menjadi raja.
Karena obsesi itu ia bertapa siang dan malam dan berguru pada Sunan
Geseng di Tegal Bekung untuk mencapai kesempurnaan hidup. Karena bertapa
melebihi batas kemampuan, Pangeran Wiromenggolo menemui ajalnya.
Dikisahkan sukmanya merasuk ke dalam ikan tombro bersisik kencana (ikan
mas).
Pada saat bersamaan, sang prameswari Kangjeng Ratu Mas Hadi
sedang mengandung dan ngidam ikan tombro bersisik emas. Keinginannya
itu disampaikan berkali-kali kepada suaminya Kangjeng Sinuwun.
Dalam
pada itu Kangjeng Sinuwun mendengar kabar bahwa Sunan Geseng memiliki
sebuah jala sutra dengan biji pemberat dari emas, yang khusus hanya
untuk menjala ikan tombro. Oleh karenanya, sang Prabu mengirim utusan
untuk minta bantuan Sunan Geseng menangkap ikan tombro bersisik kencana
seperti yang diinginkan sang Ratu.
Akhirnya keinginan sang Ratu Ratu
terpenuhi dan lahirlah bayi laki-laki yang diberi nama Raden Mas Jatmiko
(atau Raden Mas Rangsang). Setelah Sinuwun Anyokrowati wafat,
kedudukannya diganti oleh putranya Raden Mas Jatmiko, dengan gelar
Kangjeng Sinuwun Sultan Agung Anyokrokusumo (1621-1636).
Sang
Prabu juga berguru ilmu kesempurnaan pada Sunan Geseng, sampai pada
tingkat penguasaan yang tinggi (Jawa: widagdo waskitho ing
samudayanipun). Atas jasanya, Sunan Geseng dianugerahi sebidang tanah
jabatan (siti lenggah) dengan nama Kiai Ageng Jolosutro.
Kini
makam Sunan Geseng di Kabupaten Bantul, Yogyakarta dikenal Makam
Jolosutro dan dikeramatkan orang untuk diziarahi terutama pada Selasa
Kliwon dan Jumat Kliwon.
Perkawinan Sunan Geseng melahirkan anak
perempuan bernama Nyai Tumenggung Kertisara yang pada saat dewasa
bersuamikan Bupati Jenar. Bupati Kertisara memiliki anak bernama
Wiratantana yang memiliki anak perempuan bernama Raden Rara Sragu. Dari
hasil perkawinannya, Raden Rara Sragu memiliki dua orang putera, yakni
Kertamanggolo (kemudian bergelar Adipati Nilasrobo I atau Cokrojoyo II)
dan Raden Bumi.
Dikisahkan Kertamanggolo memiliki perawakan yang
agak aneh sehingga sering disebut Joko Bedug. Karena itu ayahnya
memerintahkan untuk tapa brata secara ”gentur”, mengurangi tidur serta
makan, dengan tekad agar segera diampuni oleh Yang Maha Kuasa. Setelah
beberapa waktu, dikisahkan ia mendapat ampun dari Tuhan YME dan
kembalilah wujudnya seperti sediakala, yaitu sebagai manusia.
Konon
”genturnya” Joko Bedug didengar Sang Raja Mataram. Karena itu ia
diangkat menjadi Bupati di Bedug dengan nama, Raden Adipati Nilosrobo I.
Setelah wafat ia dimakamkan dekat dengan Petilasan Nyai Ageng Bagelen.
Raden
Adipati Nilosrobo I mempunyai putra, Raden Cokrojoyo III (Tumenggung
Rogowongso atau Raden Adipati Danurejo). Setelah ditinggal wafat
ayahnya, Raden Cokrojoyo III diperkenan oleh Sinuwun di Mataram untuk
menggantikan kedudukan ayahanda sebagai Bupati di Bedug.
Semasa
hidupnya, Raden Cokrojoyo III mengalami berbagai peristiwa huru-hara.
Tidak jelas berapa lama perang itu berlangsung, tetapi yang jelas ketika
Sinuwun Pakubuwono I mangkat dan kemudian digantikan oleh putranya
(bergelar Sinuwun Mangkurat Jawa/Agung), Kia Patih Cokrojoyo III masih
di Surabaya.
Pengabdian Kiai Patih Cokrojoyo III di segala bidang
sangat luar biasa. Akibatnya Sinuwun Mangkurat Jawa/Agung
menganugerahkan pangkat Adipati. Dengan gelar Adipati Danurejo, beliau
meneruskan pengabdiannya sebagai Patih Kerajaan. Pengabdian itu
berlangsung setelah Sinuwun Mangkurat Jawa/Agung mangkat dan digantikan
oleh putranya yang bergelar Sinuwun Paku Buwono II.
Saat
pergantian tampuk pimpinan kepada Raja yang masih muda itu, Kyai Patih
diberhentikan dari jabatannya, dan bahkan dikisahkan dibuang ke Jakarta.
Sesungguhnya Kyai Patih sudah mengabdi pada tiga Raja, yaitu Sinuwun
Paku Buwono I, Sinuwun Mangkurat Jawa/Agung dan Paku Buwono II. Kalau
dihitung, jumlah pengabdiannya semasa jaman Pangeran Puger sudah
berlangsung selama 45 tahun.
Cerita kembalinya Adipati Danurejo ke
Bagelen memang masih misteri. Namun setelah ia dan istrinya wafat,
jasadnya dimakamkan di pegunungan Gemulung di desa Bagelen, tidak jauh
dari petilasan Nyai Ageng Bagelen.
Saat ini, makam Kiai Cokrojoyo
III atau Tumenggung Rogowongso atau Raden Adipati Danurejo sudah
dicungkup dengan dinding tembok. Makam itu dikenal nama Makam
Rogowangsan, terletak di desa Bagelen Kabupaten Purworejo Jawa Tengah.
Kembali
pada kisah Raden Adipati Danurejo, ia beristrikan adik dari Sinuwun
Paku Buwono II yang merupakan keturunan dari Sinuwun Mangkurat
Jawa/Agung. Istrinya bernama Bandoro Raden Ayu Tungle yang
sehari-harinya disebut (Jawa: apeparab) Kleting Dadu.
Sebelum
menikahi Raden Adipati Danurejo, BRA. Tungle sudah kawin dengan Raden
Nosuto yang disebut juga Wirosuto. Raden Nosuto masih bersaudara sepupu
dari Raden Adipati Danurejo, yaitu putra dari Joko Bumi, kakak laki-laki
(Jawa:roko) dari Joko Bedug alias Raden Nilosrobo I.
Perkawinan BRA. Tungle dengan Raden Nosuto menurunkan tiga orang anak laki-laki, yakni:
1. Raden Tumenggung Cokrojoyo I yang dikenal dengan nama Cokrojoyo
Mbalik. Selama perang Giyanti ia menjadi pendamping Tumenggung Arung
Binang;
2. Raden Kertoyudo;
3. Raden Hudosoro atau Yudosoro;
Perkawinan dengan Raden Adipati Danurejo, BRA. Tungle mempunyai 6 orang anak;
1. Raden Ayu Lebe (kemudian menikah dengan Syeh Baulowi);
2. Raden Ayu Notoyudo III (yakni istri Raden Tumenggung Notoyudo III, Bupati Kedu);
3. Raden Nilosrobo (tidak memiliki keturunan);
4. Raden Tumenggung Kartomenggolo (dimakamkan di Bedug);
5. Raden Rogoyudo (dimakamkan di Bagelen);
6. Raden Ayu Nosingo (menjadi istri Kiai Nosingo di Bragolan);
Perkawinan Raden Ayu Nosingo (Wonosingo) dengan Kiai Nosingo (Wonosingo) melahirkan keturunan dua anak laki-laki, yakni:
1. Raden Mas Singowijoyo;
2. Raden Mas Singogati
Setelah
menikah, Raden Mas Singowijoyo (Raden Bei Singawijaya) memiliki tiga
orang putera yang salah satunya kemudian menjadi Bupati pertama
Purworejo):
1. Raden Rekso Diwiryo (RAA Cokronagoro I, Bupati Purworejo);
2. Raden Nganten Citrowikromo;
3. Raden Prawironagoro (Raden Tumenggung Prawironagoro, Wedana Bragolan);
Dari
Raden Adipati Aryo Cokronagoro I lahir bupati-bupati Purworejo
penerusnya sampai Raden Mas Tumenggung Cokronagoro IV. Adik bungsu RAA
Cokronagoro I, yakni Raden Tumenggung Prawironagoro mempunyai anak
bernama Raden Ayu Cokroatmojo yang menjadi istri Raden Adipati
Cokroatmojo, Bupati Temanggung. Raden Adipati Cokroatmojo sendiri adalah
putra Raden Gagak Handoko dari Loano.
Sementara Raden Mas
Singogati di Jenar mempunyai putra Raden Singodrio dari Bakungan, cucu
dari Raden Singowijoyo di Bragolan atau cicit Raden Singodiwongso (Kiai
Singodiwongso) dan terus mengalir sampai kini.
Kang mas mau tanya apakah turunan dari
BalasHapusDanurejo dari istri cakradjaja dan keturunannya
Ada yg paham .saya mau silahturahmi
Maaf apa saudara pernah kenal dgn trah wonosingo. Kalo ada kenal saya mau silaturahmi
HapusKAMI SEKELUARGA MENGUCAPKAN BANYAK TERIMA KASIH ATAS BANTUANNYA MBAH , NOMOR YANG MBAH BERIKAN/ 4D SGP& HK SAYA DAPAT (350) JUTA ALHAMDULILLAH TEMBUS, SELURUH HUTANG2 SAYA SUDAH SAYA LUNAS DAN KAMI BISAH USAHA LAGI. JIKA ANDA INGIN SEPERTI SAYA HUB MBAH_PURO _085_342_734_904_ terima kasih.الالله صلى الله عليه وسلموعليكوتهله صلى الل
BalasHapusKAMI SEKELUARGA MENGUCAPKAN BANYAK TERIMA KASIH ATAS BANTUANNYA MBAH , NOMOR YANG MBAH BERIKAN/ 4D SGP& HK SAYA DAPAT (350) JUTA ALHAMDULILLAH TEMBUS, SELURUH HUTANG2 SAYA SUDAH SAYA LUNAS DAN KAMI BISAH USAHA LAGI. JIKA ANDA INGIN SEPERTI SAYA HUB MBAH_PURO _085_342_734_904_ terima kasih.الالله صلى الله عليه وسلموعليكوتهله صلى الل
KAMI SEKELUARGA MENGUCAPKAN BANYAK TERIMA KASIH ATAS BANTUANNYA MBAH , NOMOR YANG MBAH BERIKAN/ 4D SGP& HK SAYA DAPAT (350) JUTA ALHAMDULILLAH TEMBUS, SELURUH HUTANG2 SAYA SUDAH SAYA LUNAS DAN KAMI BISAH USAHA LAGI. JIKA ANDA INGIN SEPERTI SAYA HUB MBAH_PURO _085_342_734_904_ terima kasih.الالله صلى الله عليه وسلموعليكوتهله صلى الل
Saya sangat suka dgn karya nya. Saya mohon bantuan nya siapa saja keturunan generasi singodriyo . Saya punya silsilah terputus dari kakek buyut ki wongsoniti anak dari ki singodriyo makam nya di banjaran prembun . Mohon bantuan nya
BalasHapus