Sunan
Sendang Duwur bernama asli Raden Noer Rahmad adalah putra Abdul Kohar
Bin Malik Bin Sultan Abu Yazid yang berasal dari Baghdad (lrak). Raden
Nur Rahmad lahir pada tahun 1320 M dan wafat pada tahun 1585 M. Bukti
ini dapat dilihat pada pahatan yang terdapat di dinding makam beliau.
Beliau adalah tokoh kharismatik yang pengaruhnya dapat disejajarkan
dengan Wali Songo pada saat itu.
Bangunan Makam Sunan Sendang Duwur yang dikeramatkan oleh penduduk
sekitar tersebut berarsitektur tinggi yang menggambarkan perpaduan
antara kebudayaan Islam dan Hindu. Bangunan gapura bagian luar berbentuk
Tugu Bentar dan gapura bagian dalam berbentuk Paduraksa. Sedangkan
dinding penyangga cungkup makam dihiasi ukiran kayu jati yang bernilai
seni tinggi dan sangat indah. Dua buah batu hitam berbentuk kepala Kala
menghiasi kedua sisi dinding penyangga cungkup.
Makam Sunan Sendang Duwur yang letaknya di atas bukit itu, terdapat di
Desa Sendang Duwur, Kecamatan Paciran. Walaupun komplek makam terletak
di dataran yang cukup tinggi, tetapi bisa dijangkau oleh kendaraan umum
ataupun pribadi. Sarana jalan yang sudah baik dan memadai memudahkan
para pengunjung yang ingin kesana untuk berwisata ziarah.
Boyong Masjid dalam Semalam
Situs makam Raden Noer Rachmat alias Sunan Sendang Duwur makin ramai
pengunjung. Selain berziarah, mereka ingin melihat peninggalan
bersejarah salah satu sunan berpengaruh dalam syiar agama Islam di Jawa
itu.
SEJARAH penyebaran agama Islam di Pulau Jawa tidak bisa dipisahkan dari
sejarah Sunan Sendang Duwur. Bukti peninggalan, makam dan masjid kuno,
memberi jawaban bagaimana kiprah sunan yang makamnya terletak di Desa
Sendang Duwur, Kecamatan Paciran, Kabupaten Lamongan, itu.
Data dari berbagai sumber menyebutkan, masjid kuno itu menyimpan sejarah
yang berbeda dengan pembangunan masjid lainnya. Sebab, tempat ibadah
umat Islam ini tidak dibangun secara bertahap oleh Sunan Sendang Duwur,
melainkan melalui suatu kemukjizatan.
Ada yang mengatakan Sunan Sendang Duwur sebagai putra Abdul Qohar dari
Sedayu (Gresik), salah satu murid Sunan Drajad. Ada pula yang menyebut
Sunan Sendang Duwur adalah putra Abdul Qohar tapi tidak berguru pada
Sunan Drajad. Namun dari perbedaan itu, disepakati bahwa Raden Noer
Rochmat akhirnya diwisuda Sunan Drajad sebagai Sunan Sendang Duwur.
Setelah mendapat gelar sunan, Raden Noer berharap bisa mendirikan masjid
di Desa Sendang Duwur. Karena tidak mempunyai kayu, Sunan Drajad
menyampaikan masalah ini kepada Sunan Kalijogo yang mengarahkannya pada
Ratu Kalinyamat atau Retno Kencono di Mantingan, Jepara, yang saat itu
mempunyai masjid.
Ratu Kalinyamat merupakan putri Sultan Trenggono dari Kraton Demak
Bintoro. Suaminya bernama Raden Thoyib (Sultan Hadlirin Soho) cucu Raden
Muchayat, Syech Sultan dari Aceh. Saat diangkat menjadi bupati di
Jepara, R. Thoyib tidak lupa bersyiar agama Islam. Sehingga dibangun
masjid megah di wilayahnya pada 1531 Masehi. Banyak ulama dan kiai saat
itu kagum terhadap keindahan dan kemegahan masjid tersebut.
Setelah itu Sunan Drajat memerintahkan Sunan Sendang Duwur pergi ke
Jepara untuk menanyakan masjid tersebut. Tapi apa kata Mbok Rondo
Mantingan saat itu? Hai anak bagus, mengertilah, aku tidak akan menjual
masjid ini. Tapi suamiku (saat itu sudah meninggal, Red) berpesan, siapa
saja yang bisa memboyong masjid ini seketika dalam keadaan utuh tanpa
bantuan orang lain (dalam satu malam), masjid ini akan saya berikan
secara cuma-cuma.
Mendengar jawaban Mbok Rondo Mantingan, Sunan Sendang Duwur yang masih
muda saat itu merasa tertantang. Sebagaimana yang diisyaratkan padanya
dan tentunya dengan izin Allah, dalam waktu tidak lebih dari satu malam
masjid tersebut berhasil diboyong ke bukit Amitunon, Desa Sendang Duwur.
Masjid Sendang Duwur pun berdiri di sana, ditandai surya sengkala yang
berbunyi: "gunaning seliro tirti hayu" yang berarti menunjukkan angka
tahun baru 1483 Saka atau Tahun 1561 Masehi.
Tapi cerita lain menuturkan, masjid tersebut dibawa rombongan (yang
diperintah Sunan Drajad dan Sunan Sendang Duwur) melalui laut dari
Mantingan menuju timur (Lamongan) dalam satu malam. Rombongan itu
diminta mendarat di pantai penuh bebatuan mirip kodok (Tanjung Kodok)
yang terletak di sebelah utara bukit Amitunon di Sendang Duwur.
Rombongan dari Mantingan itu disambut Sunan Drajat dan Sunan Sendang
Duwur beserta pengikutnya. Sebelum meneruskan perjalanan membawa masjid
ke bukit Amitunon, rombongan itu diminta istirahat karena lelah sehabis
menunaikan tugas berat.
Saat istirahat, sunan menjamu rombongan dari Mantingan itu dengan kupat
atau ketupat dan lepet serta legen, minuman khas daerah setempat.
Berawal dari sini, sehingga setiap tahun di Tanjung Kodok (sekarang
Wisata Bahari Lamongan) digelar upacara kupatan.
Ajaran Relevan
Dari masjid inilah Sunan Sendang Duwur terus melakukan syiar agama
Islam. Salah satu ajaran yang masih relevan pada zaman sekarang adalah :
"mlakuho dalan kang benar, ilingo wong kang sak burimu" (berjalanlah di
jalan yang benar, dan ingatlah pada orang yang ada di belakangmu.
Ajaran sunan ini menghimbau pada seseorang agar berjalan di jalan yang
benar dan kalau sudah mendapat kenikmatan, jangan lupa sedekah.
Hubungan Sunan Drajad dengan Sunan Sendang Duwur sangat erat dalam siar
agama Islam, dan hubungan itu terus mengalir sampai kini. Terlihat,
tidak jarang para peziarah ke makam Sunan Drajad di Desa Drajad, Kec.
Paciran untuk singgah ke Sunan Sendang Duwur.
Masjid itu kini sudah berusia 477 tahun (didirikan R. Thoyib di
Mantingan pada 1531). Karena usianya yang tua, beberapa konstruksi
kayunya terpaksa diganti dan yang asli tetap disimpan di lokasi makam,
di sekitar masjid. Maski masjid kuno itu sempat dipugar, arsitektur
masjid peninggalan wali ini masih tampak dan menggambarkan kebesaran
pada zamannya.
Bangunan yang menunjukkan Hinduistis masih tampak di masjid dan makam.
Meski halaman dan makam menyatu, masjid ini mempunyai halaman
sendiri-sendiri.
Dari arah jalan, yang tampak lebih dulu adalah kompleks pecandian.
Sedangkan gapura halaman berbentuk mirip Candi Bentar di Bali. Bentuk
candi seperti ini telah dikenal sejak zaman Majapahit, seperti Gapura
Jati Pasar dan Waringin Lawang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar