Jaman Pajajaran diawali oleh pemerintahan
Sri Baduga Maharaja (RatuJayadewata) yang
memerintah selama 39 thaun (1482 - 1521).
Pada masa inilah Pakuan mencapai puncak perkembangannya.
Dalam prasasti Batutulis diberitakan bahwa
Sri Baduga dinobatkan dua kali, yaitu yang
pertama ketika Jayadewata menerima Tahta
Galuh dari ayahnya (Prabu Dewa Niskala) yang
kemudian bergelar PRABU GURU DEWAPRANATA.
Yang kedua ketika ia menerima Tahta Kerajaan
Sunda dari mertuanya (Susuktunggal). Dengan
peristiwa ini, ia menjadi penguasa Sunda-Galuh
dan dinobatkan dengar gelar SRI BADUGA MAHARAJA
RATU HAJI di PAKUAN PAJAJARAN SRI SANG RATU
DEWATA. Jadi sekali lagi dan untuk terakhir
kalinya, setelah "sepi" selama
149 tahun, Jawa Barat kembali menyaksikan
iring-iringan rombongan raja yang berpindah
tempat dari timur ke barat.
Di Jawa Barat Sri Baduga ini lebih dikenal
dengan nama PRABU SILIWANGI. Nama Siliwangi
sudah tercatat dalam kropak 630 sebagai lakon
pantun. Naskah itu ditulis tahun 1518 ketika
Sri Baduga masih hidup. Lakon Prabu Siliwangi
dalam berbagai versinya berintikan kisah
tokoh ini menjadi raja di Pakuan. Peristiwa
itu dari segi sejarah berarti saat Sri Baduga
mempunyai kekuasaan yang sama besarnya dengan
Wastu Kancana
(kakeknya) alias Prabu Wangi (menurut pandangan
para pujangga Sunda). Menurut tradisi lama.
orang segan atau tidak boleh menyebut gelar
raja yang sesungguhnya, maka juru pantun
mempopulerkan sebutan Siliwangi. Dengan nama
itulah ia dikenal dalam literatur Sunda.
Wangsakerta pun mengungkapkan bahwa Siliwangi
bukan nama pribadi, ia menulis: "Kawalya
ta wwang Sunda lawan ika wwang Carbon mwang
sakweh ira wwang Jawa Kulwan anyebuta Prabhu
Siliwangi raja Pajajaran. Dadyeka dudu ngaran
swaraga nira" (Hanya orang Sunda dan
orang Cirebon serta semua orang Jawa Barat
yang menyebut Prabu Siliwangi raja Pajajaran.
Jadi nama itu bukan nama pribadinya).
Waktu mudanya Sri Baduga terkenal sebagai
kesatria pemberani dan tangkas bahkan satu-satunya
yang pernah mengalahkan RATU JAPURA (AMUK
MURUGUL) waktu bersaing memperbutkan Subanglarang
(istri kedua Prabu Siliwangi yang beragama
Islam). Dalam berbagai hal, orang sejamannya
teringat kepada kebesaran mendiang buyutnya
(Prabu Maharaja Lingga Buana) yang gugur
di Bubat yang digelari Prabu Wangi. {Tentang
hal ini, Pustaka Rajyarajya i Bhumi Nusantara
II/2 mengungkapkan bahwa orang Sunda menganggap
Sri Baduga sebagai pengganti Prabu Wangi,
sebagai silih yang telah hilang. Naskahnya
berisi sebagai berikut (artinya saja): "Di
medan perang Bubat ia banyak membinasakan
musuhnya karena Prabu Maharaja sangat menguasai
ilmu senjata dan mahir berperang, tidak mau
negaranya diperintah dan dijajah orang lain.
Ia berani menghadapi pasukan besar Majapahit
yang dipimpin oleh sang Patih Mada yang jumlahnya
tidak terhitung. Oleh karena itu, ia bersama
semua pengiringnya gugur tidak tersisa. Ia
senantiasa mengharapkan kemakmuran dan kesejahteraan
hidup rakyatnya di seluruh bumi Jawa Barat.
Kemashurannya sampai kepada beberapa negara
di pulau-pulau Dwipantara atau Nusantara
namanya yang lain. Kemashuran Sang Prabu
Maharaja membangkitkan (rasa bangga kepada)
keluarga, menteri-menteri kerajaan, angkatan
perang dan rakyat Jawa Barat. Oleh karena
itu nama Prabu Maharaja mewangi. Selanjutnya
ia di sebut Prabu Wangi. Dan keturunannya
lalu disebut dengan nama Prabu Siliwangi.
Demikianlah menurut penuturan orang Sunda"}
Kesenjangan antara pendapat orang Sunda dengan
kenyataan sejarah seperti yang diungkapkan
di atas mudah dijajagi. Pangeran Wangsakerta
(penanggung jawab penyusunan Sejarah Nusantara)
menganggap bahwa tokoh Prabu Wangi adalah
Maharaja Linggabuana yang gugur di bubat,
sedangkan penggantinya ("silih"nya)
bukan Sri Baduga melainkan Wastu Kancana
(kakek Sri Baduga, menurut naskah Wastu kancana
disebut juga PRABU WANGSISUTAH). Orang Sunda
tidak memperhatikan perbedaan ini sehingga
menganggap Prabu Siliwangi sebagai putera
Wastu Kancana (Prabu Anggalarang). Tetapi
dalam Carita Parahiyangan disebutkan bahwa
Niskala Wastu Kancana itu adalah "seuweu"
Prabu Wangi. Mengapa Dewa Niskala (ayah Sri
Baduga) dilewat?. Ini disebabkan Dewa Niskala
hanya menjadi penguasan Galuh. Dalam hubungan
ini tokoh Sri Baduga memang penerus "langsung"
dari Wastu Kancana. Menurut Pustaka Rajyarajya
i Bhumi Nusantara II/4, ayah dan mertua Sri
Baduga (Dewa Niskala dan Susuktunggal) hanya
bergelar PRABU, sedangkan Jayadewata bergelar
MAHARAJA (sama seperti kakeknya Wastu Kancana
sebagai penguasa Sunda-Galuh).
Dengan demikian, seperti diutarakan Amir
Sutaarga (1965), Sri Baduga itu dianggap
sebagai "silih" (pengganti) Prabu
Wangi Wastu Kancana (oleh Pangeran Wangsakerta
disebut Prabu Wangisutah). "Silih"
dalam pengertian kekuasaan ini oleh para
pujangga babad yang kemudian ditanggapi sebagai
pergantian generasi langsung dari ayah kepada
anak sehingga Prabu Siliwangi dianggap putera
Wastu Kancana].
Proses kepindahan isteri Ratu Pakuan (Sri
Baduga) ke Pakuan terekam oleh pujangga bernama
KAI RAGA di Gunung Srimanganti (Sikuray).
Naskahnya ditulis dalam gaya pantun dan dinamai
CARITA RATU PAKUAN (diperkirakan ditulis
pada akhir abad ke-17 atau awal abad ke-18).
Naskah itu dapat ditemukan pada Kropak 410
. Isinya adalah sebagai berikut (hanya
terjemahannya saja):
Tersebutlah Ngabetkasih
bersama madu-madunya
bergerak payung lebesaran melintas tugu
yang seia dan sekata
hendak pulang ke Pakuan
kembali dari keraton di timur
halaman cahaya putih induk permata
cahaya datar namanya
keraton berseri emas permata
rumah berukir lukisan alun
di Sanghiyang Pandan-larang
keraton penenang hidup.
Bergerak barisan depan disusul yang kemudian
teduh dalam ikatan dijunjung
bakul kue dengan tutup yang diukir
kotak jati bersudut bulatan emas
tempat sirih nampan perak
bertiang gading ukiran telapak gajah
hendak dibawa ke Pakuan
Bergerak tandu kencana
beratap cemara gading
bertiang emas
bernama lingkaran langit
berpuncak permata indah
ditatahkan pada watang yang bercungap
Singa-singaan di sebelah kiri-kanan
payung hijau bertiang gading
berpuncak getas yang bertiang
berpuncak emas
dan payung saberilen
berumbai potongan benang
tapok terongnya emas berlekuk
berayun panjang langkahnya
terkedip sambil menoleh
ibarat semut, rukun dengan saudaranya
tingkahnya seperti semut beralih
Bergerak seperti pematang cahaya melayang-layang
berlenggang di awang-awang
pembawa gendi di belakang
pembawa kandaga di depan
dan ayam-ayaman emas kiri-kanan
kidang-kidangan emas di tengah
siapa diusun di singa barong
Bergerak yang di depan, menyusul yang kemudian
barisan yang lain lagi
[yang dikisahkan dalam pantun itu adalah
Ngabetkasih (Ambetkasih), isteri Sri BAduga
yang pertama (puteri Ki Gedng Sindang Kasih,
putera Wastu Kancana ketiga dari Mayangsari).
Ia pindah dari keraton timur (Galuh) ke Pakuan
bersama isteri-isteri Sri Baduga yang lain]
Tindakan pertama yang diambil oleh Sri Baduga
setelah resmi dinobatkan jadi raja adalah
menunaikan amanat dari kakeknya (Wastu Kancana)
yang disampaikan melalui ayahnya (Ningrat
Kancana) ketika ia masih menjadi mangkubumi
di Kawali. Isi pesan ini bisa ditemukan pada
salah satu prasasti peniggalan Sri Baduga
di Kebantenan. Isinya sebagai berikut (artinya
saja):
Semoga selamat. Ini tanda peringatan bagi
Rahyang Niskala Wastu Kancana. Turun kepada
Rahyang Ningrat Kancana, maka selanjutnya
kepada Susuhunan sekarang di Pakuan Pajajaran.
Harus menitipkan ibukota di Jayagiri dan
ibukota di Sunda Sembawa.
Semoga ada yang mengurusnya. Jangan memberatkannya
dengan "dasa", "calagra",
"kapas timbang", dan "pare
dongdang".
Maka diperintahkan kepada para petugas muara
agar jangan memungut bea. Karena merekalah
yang selalu berbakti dan membaktikan diri
kepada ajaran-ajaran. Merekalah yang tegus
mengamalkan peraturan dewa.
Dengan tegas di sini disebut "dayeuhan"
(ibukota) di Jayagiri dan Sunda Sembawa.
Penduduk kedua dayeuh ini dibebaskan dari
4 macam pajak, yaitu "dasa" (pajak
tenaga perorangan), "calagra" (pajak
tenaga kolektif), "kapas timbang"
(kapas 10 pikul) dan "pare dondang"
(padi 1 gotongan). Dalam kropak 630, urutan
pajak tersebut adalah dasa, calagra, "upeti",
"panggeureus reuma". [Dalam kropak
406 disebutkan bahwa dari daerah Kandang
Wesi (sekarang Bungbulang, Garut) harus membawa
"kapas sapuluh carangka" (10 carangka=
10 pikul = 1 timbang atau menurut Coolsma,
1 caeng timbang) sebagai upeti ke Pakuan
tiap tahun. Kapas termasuk upeti. Jadi tidak
dikenakan kepada rakyat secara perorangan,
melainkan kepada penguasa setempat.
"Pare dondang" disebut "panggeres
reuma". Panggeres adalah hasil lebih
atau hasil cuma-cuma tanpa usaha. Reuma adalah
bekas ladang. Jadi, padi yang tumbuh terlambat
(turiang) di bekas ladang setelah dipanen
dan ke- mudian ditinggalkan karena petani
membuka ladang baru, menjadi hak raja atau
penguasa setempat (tohaan). Dongdang adalah
alat pikul seperti "tempat tidur"
persegi empat yang diberi tali atau tangkai
berlubang untuk memasukan pikulan. Dondang
harus selalu di gotong. Karena bertali atau
bertangkai, waktu digotong selalu berayun
sehingga disebut "dondang" (berayun).
Dondang pun khusus dipaka untuk membawa barang
antaran pada selamatan atau arak-arakan.
Oleh karena itu, "pare dongdang"
atau "penggeres reuma" ini lebih
bersifat barang antaran.
Pajak yang benar-benar hanyalah pajak tenaga
dalam bentuk "dasa" dan "calagra"
(Di Majapahit disebut "walaghara = pasukan
kerja bakti). Tugas-tugas yang harus dilaksanakan
untuk kepentingan raja diantaranya: menangkap
ikan, berburu, memelihara saluran air (ngikis),
bekerja di ladang atau di "serang ageung"
(ladang kerajaan yang hasil padinya di peruntukkan
bagi upacara resmi)]
[Dalam kropak 630 disebutkan "wwang
tani bakti di wado" (petani tunduk kepada
wado). Wado atau wadwa ialah prajurit kerajaan
yang memimpin calagara. Sistem dasa dan calagara
ini terus berlanjut setelah jaman kerajaan.
Belanda yang di negaranya tidak mengenal
sistem semacam ini memanfaatkanna untuk "rodi".
Bentuk dasa diubah menjadi "Heerendiensten"
(bekerja di tanah milik penguasa atau pembesar).
Calagara diubah menjadi "Algemeenediensten"
(dinas umum) atau "Campongdiesnten"
(dinas Kampung) yang menyangkut kepentingan
umum, seperti pemeliharaan saluran air, jalan,
rumah jada dan keamanan. Jenis pertama dilakukan
tanpa imbalan apa-apa, sedangkan jenis kedua
dilakuan dengan imbalan dan makan. "Preangerstelsel"
dan "Cultuurstelsel" yang keduanya
berupa sistem tanam paksa memangfaatkan trasisi
pajak tenaga ini.
Dalam akhir abad ke-19 bentuknya berubah
menjadi "lakongawe" dan berlaku
untuk tingkat desa. Karena bersifat pajak,
ada sangsi untuk mereka yang melalaikannya.
Dari sinilah orang Sunda mempunyai peribahasa
"puraga tamba kadengda" (bekerja
sekedar untuk menghindari hukuman atau dendaan).
Bentuk dasa pada dasarnya tetap berlangsung.
Di desa ada kewajiban "gebagan"
yaitu bekerja di sawah bengkok dan ti tingkat
kabupaten bekerja untuk menggarap tanah para
pembesar setempat. Jadi "gotong royong
tradisional berupa bekerja untuk kepentingan
umum atas perintah kepala desa", menurut
sejarahnya bukanlah gotong royong. Memang
tradisional, tetapi ide dasarnya adalah pajak
dalam bentuk tenaga. Dalam Pustaka Jawadwipa
disebut KARYABHAKTI dan sudah dikenal pada
masa Tarumanagara dalam abad ke-5.
Piagam-piagam Sri Baduga lainnya berupa "piteket"
karena langsung merupakan perintahnya. Isinya
tidak hanya pembebasan pajak tetapi juga
penetapan batas-batas "kabuyutan"
di Sunda Sembawa dan Gunung Samaya yang dinyatakan
sebagai "lurah kwikuan" yang disebut
juga DESA PERDIKAN (desa bebas pajak).
Untuk mengetahui lebih lanjut kejadian di
masa pemerintahan Sri Baduga, marilah kita
telusuri sumber sejarah sebagai berikut:
a. Carita Parahiyangan
Dalam sumber sejarah ini, pemerintahan Sri
Baduga dilukiskan demikian: "Purbatisi
purbajati, mana mo kadatangan ku musuh ganal
musuh alit. Suka kreta tang lor kidul kulon
wetan kena kreta rasa. Tan kreta ja lakibi
dina urang reya, ja loba di sanghiyang siksa"
(Ajaran dari leluhur dijunjung tinggi sehingga
tidak akan kedatangan musuh, baik berupa
laskar maupun penyakit batin. Senang sejahtera
di utara, barat dan timur. Yang tidak merasa
sejahtera hanyalah rumah tangga orang banyak
yang serakah akan ajaran agama)
Dari Naskah ini dapat diketahui, bahwa pada
saat itu telah banyak Rakyat Pajajaran yang
beralih agama (Islam) dengan meninggalkan
agama lama. Mereka disebut "loba"
(serakah) karena merasa tidak puas dengan
agama yang ada, lalu mencari yang baru.
b. Pustaka Nagara Kretabhumi parwa I serga
2
Naskah ini menceritakan, bahwa pada tanggal
12 bagian terang bulan Caitra tahun 1404
Saka, Syarif Hidayat menghentikan pengiriman
upeti yang seharusnya di bawa setiap tahun
ke Pakuan Pajajaran. [Syarif Hidayat masih
cucu Sri Baduga dari Lara Santang. Ia dijadikan
raja oleh uanya (Pangeran Cakrabuana) dan
menjadi raja merdeka di Pajajaran di Bumi
Sunda (Jawa Barat)]
Ketika itu Sri Baduga baru saja menempati
istana Sang Bhima (sebelumnya di Surawisesa).
Kemudian diberitakan, bahwa pasukan Angkatan
Laut Demak yang kuat berada di Pelabuhan
Cirebon untuk menjada kemungkinan datangnya
serangan Pajajaran.
Tumenggung Jagabaya beserta 60 anggota pasukannya
yang dikirimkan dari Pakuan ke Cirebon, tidak
mengetahui kehadiran pasukan Demak di sana.
Jagabaya tak berdaya menghadapi pasukan gabungan
Cirebon-Demak yang jumlahnya sangat besar.
Akhirnya Jagabaya menghamba dan masuk Islam.
Peristiwa itu membangkitkan kemarahan Sri
Baduga. Pasukan besar segera disiapkan untuk
menyerang Cirebon. Akan tetapi pengiriman
pasukan itu dapat dicegah oleh PUROHITA (pendeta
tertinggi) keraton KI PURWA GALIH. [Cirebon
adalah daerah warisan Cakrabuana (Walangsungsang)
dari mertuanya (Ki Danusela) dan daerah sekitarnya
diwarisi dari kakeknya Ki Gedeng Tapa (Ayah
Subanglarang). Cakrabuana sendiri dinobatkan
oleh Sri Baduga (sebelum menjadi Susuhunan)
sebagai penguasa Cirebon dengan gelar Sri
Mangana. Karena Syarif Hidayat dinobatkan
oleh Cakrabuana dan juga masih cucu Sri Baduga,
maka alasan pembatalan penyerangan itu bisa
diterima oleh penguasa Pajajaran]
Demikianlah situasi yang dihadapi Sri Baduga
pada awal masa pemerintahannya. Dapat dimaklumi
kenapa ia mencurahkan perhatian kepada pembinaan
agama, pembuatan parit pertahanan, memperkuat
angkatan perang, membuat jalan dan menyusun
PAGELARAN (formasi tempur). [Pajajaran adalah
negara yang kuat di darat, tetapi lemah di
laut.
Menurut sumber Portugis, di seluruh kerajaan,
Pajajaran memiliki kira-kira 100.000 prajurit.
Raja sendiri memiliki pasukan gajah sebanyak
40 ekor. Di laut, Pajajaran hanya memiliki
6 buah JUNG (adakah yang tahu artinya?) dari
150 ton dan beberala LANKARAS (?) untuk kepentingan
perdagangan antar-pulaunya (saat itu perdagangan
kuda jenis Pariaman mencapai 4000 ekor/tahun)]
Keadaan makin tegang ketika hubungan Demak-Cirebon
makin dikukuhkan dengan perkawinan putera-puteri
dari kedua belah pihak. Ada 4 pasangan yang
dijodohkan, yaitu
1. Pangeran Hasanudin dengan Ratu Ayu Kirana
(Purnamasidi)
2. Ratu Ayu dengan Pangeran Sabrang Lor
3. Pangeran Jayakelana dengan Ratu Pembayun
4. Pangeran Bratakelana dengan Ratu Ayu Wulan
(Ratu Nyawa)
[Perkawinan Sabrang Lor (YUNUS ABDUL KADIR)
dengan Ratu Ayu terjadi 1511. Sebagai SENAPATI
SARJAWALA (Panglima angkatan laut) Kerajaan
Demak, ia untuk sementara berada di Cirebon]
Persekutuan Cirebon-Demak inilah yang sangat
mencemaskan Sri Baduga di Pakuan. Tahun 1512,
ia mengutus putera mahkota Surawisesa menghubungi
Panglima Portugis ALFONSO d'ALBUQUERQUE di
Malaka (ketika itu baru saja merebut Pelabuhan
Pasai). Sebaliknya upaya Pajajaran ini telah
pula meresahkan pihak Demak.
Pangeran Cakrabuana dan Susuhunan Jati (Syarif
Hidayat) tetap menghormati Sri Baduga karena
masing-masing sebagai ayah dan kakek. Oleh
karena itu permusuhan antara Pajajaran dengan
Cirebon tidak berkembang ke arah ketegangan
yang melumpuhkan SEKTOR-SEKTOR PEMERINTAHAN.
Sri Baduga hanya tidak senang hubungan Cirebon-Demak
yang terlalu akrab, bukan terhadap Kerajaan
Cirebon. Terhadap Islam, ia sendiri tidak
membencinya karena salah seorang permaisurinya
(Subanglarang) adalah muslimah dan ketiga
anaknya (Walangsungsang alias Cakrabuana,
Lara Santang dan Raja Sangara) diizinkan
sejak kecil mengikuti agama ibunya (Islam).
Karena permusuhan tidak berlanjut ke arah
pertumpahan darah, maka masing-masing pihak
dapat mengembangkan keadaan dalam negerinya.
Demikianlah pemerintahan Sri Baduga dilukiskan
sebagai jaman kesejahteraan (Carita Parahiyangan).
Tome Pires ikut mencatat kemajuan jaman Sri
Baduga dengan komentar "The Kingdom
of Sunda is justly governed; they are true
men" (Kerajaan Sunda diperintah dengan
adil; mereka adalah orang-orang jujur). Juga
diberitakan kegiatan perdagangan Sunda dengan
Malaka sampai ke kepulauan Maladewa (Maladiven).
Jumlah merica bisa mencapai 1000 bahar (1
bahar = 3 pikul) setahun, bahkan hasil tammarin
(asem) dikatakannya cukup untuk mengisi muatan
1000 kapal.
Naskah KITAB WARUGA JAGAT dari Sumedang dan
PANCAKAKI MASALAH KARUHUN KABEH dari Ciamis
yang ditulis dalam abad ke-18 dalam bahasa
Jawa dan huruf Arab-pegon masih menyebut
masa pemerintahan Sri Baduga ini dengan masa
GEMUH PAKUAN (kemakmuran Pakuan) sehingga
tak mengherankan bila hanya Sri Baduga yang
kemudian diabadikan kebesarannya oleh raja
penggantinya dalam jaman Pajajaran.
Sri Baduga Maharaja alias Prabu Siliwangi
yang dalam Prasasti Tembaga Kebantenan disebut
SUSUHUNAN di PAKUAN PAJAJARAN, memerintah
selama 39 tahun (1482 - 1521). Ia disebut
SECARA ANUMERTA SANG LUMAHING (SANG MOKTENG)
RANCAMAYA karena ia dipusarakan di Rancamaya
(di sinilah nilai khusus Rancamaya). [Rancamaya
terletak kira-kira 7 Km di sebelah tenggara
Kota Bogor. Rancamaya memiliki mata air yang
sangat jernih. Tahun 1960-an di hulu Cirancamaya
ini ada sebuah situs makam kuno dengan pelataran
berjari-jari 7.5 m tertutup hamparan rumput
halus dan dikelilingi rumpun bambu setengah
lingkaran. Dekat makam itu terdapat Pohon
Hampelas Badak setinggi kira-kira 25 m dan
sebuah pohon beringin.
Dewasa ini seluruh situs sudah "dihancurkan"
orang. Pelatarannya ditanami ubi kayu, pohon-pohonannya
ditebang dan makam kuno itu diberi saung.
Di dalamnya sudah bertambah sebuah kuburan
baru, lalu makam kunonya diganti dengan bata
pelesteran, ditambah bak kecil untuk peziarah
dengan dinding yang dihiasi huruf Arab. Makam
yang dikenal sebagai makam Embah Punjung
ini mungkin sudah dipopulerkan orang sebagai
MAKAM WALI. Kejadian ini sama seperti kuburan
Embah Jepra pendiri Kampung Paledang yang
terdapat di Kebun Raya yang "dijual"
orang sebagai "makam Raja Galuh".
Telaga yang ada di Rancamaya, menurut Pantun
Bogor, asalnya bernama Rena Wijaya dan kemudian
berubah menjadi Rancamaya. Akan tetapi, menurut
naskah kuno, penamaannya malah dibalik, setelah
menjadi telaga kemudian dinamai Rena Maha
Wijaya (terungkap pada prasasti). "Talaga"
(Sangsakerta "tadaga") mengandung
arti kolam. Orang Sunda biasanya menyebut
telaga untuk kolam bening di pegunungan atau
tempat yang sunyi. Kata lain yang sepadan
adalah situ (Sangsakerta, setu) yang berarti
bendungan.
Bila diteliti keadaan sawah di Rancamaya,
dapat diperkirakan bahwa dulu telaga itu
membentang dari hulu Cirancamaya sampai ke
kaki bukit Badigul di sebelah utara jalan
lama yang mengitarinya dan berseberangan
dengan Kampung Bojong. Pada sisi utara lapang
bola Rancamaya yang sekarang, tepi telaga
itu bersambung dengan kaki bukit.
Bukit Badigul memperoleh namanya dari penduduk
karena penampakannya yang unik. Bukit itu
hampir "gersang" dengan bentuk
parabola sempurna dan tampak seperti "katel"
(wajan) terbalik. Bukit-bukit disekitarnya
tampak subur. Badigul hanya ditumbuhi jenis
rumput tertentu. Mudah diduga bukit ini dulu
"dikerok" sampai mencapai bentuk
parabola. Akibat pengerokan itu tanah suburnya
habis.
Bagidul kemungkinan waktu itu dijadikan "bukit
punden" (bukit pemujaan) yaitu bukit
tempat berziarah (bahasa Sunda, nyekar atau
ngembang=tabur bunga). Kemungkinan yang dimaksud
dalam "rajah Waruga Pakuan" dengan
Sanghiyang Padungkulan itu adalah Bukit Badigul
ini.
Kedekatan telaga dengan bukit punden bukanlah
tradisi baru. Pada masa Purnawarman, raja
beserta para pembesar Tarumanagara selalu
melakukan upacara mandi suci di Gangganadi
(Setu Gangga) yang terletak dalam istana
Kerajaan Indraprahasta (di Cirebon Girang).
Setelah bermandi- mandi suci, raja melakukan
ziarah ke punden-punden yang terletak dekat
sungai.
JCMH: Casino of The Winds Hotel & Resort and Spa at
BalasHapusJCMH: Casino of The Winds Hotel & Resort and Spa at Encore 태백 출장안마 is 서산 출장안마 the 공주 출장마사지 premier gaming destination in 부산광역 출장샵 Southern 군포 출장안마 California.