Sebagai situs makam yang dikeramatkan,
makam Sunan Bejagung yang dikelilingi puluhan pepohonan tua berusia
ratusan tahun itu oleh masyarakat diyakini menyimpan berkah. Di
antaranya dapat mengeluarkan diri dari nasib ruwet (susah), sekaligus
sebagai obat mujarab untuk menyembuhkan berbagai luka dan penyakit.
Meski pada awalnya makam ini kurang
dikenal sebagaimana makam Sunan Bonang. Namun, situs wisata religi Sunan
Bejagung atau Syaikh Abdullah Asy’ari yang konon semasa hidupnya
menjadi penyulut pelita dan muadzin di Masjidil Haram ini mulai banyak
dikunjungi oleh wisatawan.
Cerita-cerita yang berkembang
dimasyarakat mulai menarik para peziarah dan wisatawan untuk menyaksikan
langsung lokasi wisata ini. Diantara cerita yang masih menjadi
keyakinan masyarakat sekitar yakni bahwa pada masanya hanya Sunan
Bejagunglah yang mampu menyulut pelita di Masjidil Haram. Dan, yang
menakjubkan, ketika waktu manjing (masuk) shalat isya’ tiba, Sunan
Bejagung sudah kembali berada di tengah ratusan santrinya menjadi imam
shalat.
Hal menarik lainnya yakni sebuah sumur
giling yang digali sendiri oleh Sunan yang terletak di sebelah utara
komplek makam. Sumur berbentuk persegi yang dipercaya sebagai salah satu
maha karya Sunan Bejagung ini airnya tak pernah kering sepanjang musim
bahkan saat musim kemarau terparah sekalipun. Untuk menaikkan air dari
sumur ini, dibuat kumparan besar dari kayu yang diletakkan melintang di
atas sumur. Kumparan itu dibuat sedemikian rupa sehingga mudah untuk
diputar. Dengan kedalaman 62 meter, bisa dibayangkan betapa sulitnya
menaikkan air dengan katrol kecil.
Karena cara pengambilan air yang
menggunakan kumparan kayu besar (gilingan). Seperti pemintal benang
yang banyak digunakan para pengrajin batik gedog dari Kecamatan Kerek, Tuban. Maka sumur hasil karya Syeikh Asy’ari tersebut kemudian dinamakan sumur Giling.
Bagi masyarakat Tuban, terutama yang
tinggal di wilayah Kecamatan Semanding, Sumur Giling tak ubahnya sumur
zam-zam yang ada di Masjidil Haram, Mekkah, Saudi Arabia. Menurut
keyakinan masyarakat setempat, air sumur sedalam 62 meter tersebut
memiliki berjuta karamah atau kasiat. Keyakinan itulah yang mengundang
banyak orang berbondong-bondong datang ke situs makam salah satu
penyebar agama Islam di Pulau Jawa ini. Kendati tidak masuk dalam daftar
anggota Wali Songo, makam Sunan Bejagung tetap disejajarkan dengan para
wali lainnya.
Menurut cerita tutur yang berkembang di
masyarakat, pembuatan sumur tersebut dilakukan hanya butuh waktu satu
hari satu malam. Banyak orang percaya air Sumur Giling Sunan Bejagung
mengandung energi luar biasa. Lantaran berada pada kedalaman 62 meter di
bawah tanah diyakini mampu membuat badan lebih sehat.
Terlepas dari semua mitos tersebut,
sumur giling tua peninggalan Sunan Bejagung itu menjadi bukti yang masih
tersisa dari peradaban masa lalu bangsa Indonesia. Bahwa sejak zaman
Majapahit, bangsa ini telah mengenal tehnologi pengeboran, hal itu
tidak bisa terbantahkan dengan bukti-bukti yang masih ada seperti Sumur
Giling Sunan Bejagung tersebut.
Satu lagi yang menarik dari situs makam
ini adalah Gugusan batu yang bernama Watu Gajah. Konon, batu-batu
tersebut penjelmaan dari gajah tentara Majapahit yang hendak membawa
pulang paksa Pangeran Kusumohadi yang mengaji kepada Sunan Bejagung
Pangeran Kusumohadi adalah putra Prabu
Hayam Wuruk, salah satu raja Majapahit. Setelah mengetahui bahwa
anaknya mengaji di Padepokan Sunan Bejagung Tuban, maka sang prabu
memerintahkan patihnya Gajah Mada menjemput. Mendengar rencana itu,
Pangeran Kusumohadi memohon kepada Sunan Bejagung untuk membantunya
menolak kehendak Prabu Hayam Wuruk.
Kehendak pangeran tersebut dikabulkan
Sunan Bejagung. Untuk melindungi sang pangeran, Sunan Bejagung menggaret
tanah sekitar Padepokan Kasunanan Bejagung yang sampai sekarang dikenal
dengan Siti Garet.
Mitos lain yang terkait dengan karomah
Sunan Bejagung lor (utara) adalah pantangan warga Bejagung memakan ikan
meladang (jenis ikan laut). Mitos ini terkait dengan pengalaman Sunang
Bejagung yang terapung di laut dan ditolong ikan tersebut.
Awalnya, tidak ada istilah Sunan
Bejagung Lor (utara) dan Sunan Bejagung Kidul (selatan) karena Sunan
Bejagung memang hanya satu yaitu Maulana Abdullah Asya’ari Sunan
Bejagung. Kisah ini berawal dari datangnya seorang santri yang dikirim
oleh Syeh Jumadil Kubro. Namanya, Pangeran Kusumohadi yang tidak lain
putra Prabu Brawijaya IV atau Prabu Hayam Wuruk dari salah seorang
selirnya.
Karena alim, sholeh, dan ketauhidannya
sangat tinggi, akhirnya Kusumohadi diambil menantu Sunan Bejagung.
Melihat kemampuan menantunya dalam mengajarkan agama, Hasyim Alamuddin
dipasrahi siar di wilayah Bejagung Kidul. Sementara Syekh Maulana
Abdullah Asy’ari berpindah atau uzlah ke Bejagung bagian utara
(Bejagung Lor).
Di kawasan ini juga terdapat kompleks
pemakaman Citro Sunan yang letaknya hanya dibatasi jalan raya jurusan
Tuban – Bojonegoro. Terletak di Desa Bejagung, Kecamatan Semanding
Tuban. Berjarak sekitar satu kilometer ke selatan dari kota Tuban, atau
satu jalur dengan obyek wisata pemandian Bektiharjo.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar