Halaman

Sabtu, 14 Januari 2012

Sunan Katong dan Pakuwojo

Bathara Katong atau Sunan Katong besama pasukannya mendarat di Kaliwungu dan memilih tempat di pegunungan Penjor atau pegunungan telapak kuntul melayang. Beberapa tokoh dalam rombongannya antara lain terdapat tokoh seperti Ten Koe Pen Jian Lien (Tekuk Penjalin),Han Bie Yan (Kyai Gembyang) dan Raden Panggung (Wali Joko).

Penyebaran Islam di sekitar Kaliwungu tidak ada hambatan apapun. Sedangka memasuki wilayah yang agak ke barat, ditemui seorang tokoh agama Hindu/Budha, bahka disebutkan sebagai mantan petinggi Kadipaten di bawah Kerajaan Majapahit untuk wilayah Kendal/Kaliwungu, bernama Suromenggolo atau Empu Pakuwojo.

Dikatakan dalam cerita tutur, ia seorang petinggi Majapahit dan ahli membuat pusaka atau empu. Ia seorang adipati Majapahit yang pusat pemerintahannya di Kaliwungu/Kendal. Untuk meng-Islamkan atau menyerukan kepada Pakuwojo supaya memeluk agam Islam, Tidaklah mudah sebagaimana meng-ISlamkan masyarakat biasa lainnya. Biasanya sifat gengsi dan merasa jad taklukan adalah mendekati kepastian. Karena ia merasa punya kelebihan, maka peng-Islamannya diwarnai dengan adu kesaktian, sebagaimana Ki Ageng Pandan Aran meng-Islamkan para 'Ajar' di perbukitan Bergota/Pulau Tirang.

Kesepakatan atau persyaratan dibuat dengan penuh kesadaran dalam kapasitas sebagai seorang ksatria pilih tanding. "Bila Sunan Katong sanggup mengalahkannya, maka ia mau memeluk agama Islam dan menjadi murid Sunan Katong", demikian sumpah Pakuwojo di hadapan Sunan Katong. Pola dan gaya pertrungan seperti it memang sudash menjadi budaya orang-orang dahulu. Mereka lebih menjunjung sportivitas pribadi.

Dengan didampingi dua sahabatnya dan satu saudaranya, pertarungan antarkeduanya berlangsung seru. Selain adu fisik, mereka pun adu kekuatan batin yang sulit diikuti oleh mata oran awam. Kejar mengejar, baik di darat maupun di air hingga berlangsung lama dan Pakuwojo tidak pernah menang. Bahkan ia berkeinginan untuk lari dan bersembunyi. Kebetulan sekali ada sebuah pohon besar yang berlubang. Oleh Pakuwojo digunakan sebagai tempat bersembunyi dengan harapan Sunan Katong tidak mengetahuinya. Namun berkat ilmu yang dimiliki, Sunan Katong berhasil menemukan Pakuwojo, dan menyerahlah Pakuwojo.

Sebagaimana janjinya, kemudian ia mengucapkan dua kalimat syahadat sebagai tanda masuk Islam. Oleh Sunan Katong, pohon yang dijadikan tempat persembunyian Pakuwojo diberi nama Pohon Kendal yang artinya penerang. Di tempat itulah Pakuwojo terbuka hati dan pikirannya menjadi terang dan masuk Islam. Dan Sungai yang dijadikan tempat pertarungan kedua tokoh itu diberi nama Kali/Sungai Kendal, yaiut sungai yang membelah kota Kendal, tepatnya di depan masjid Kendal. Pakuwojo yang semula oleh banyak orang dipanggil Empu Pakuwojo, oleh Sunan Katong dipanggil dengan nama Pangeran Pakuwojo, sebuah penghargaan karena ia seorang petinggi Majapahit. Setelah itu ia memilih di desa Getas Kecamatan Patebon dan kadang-kadang ia ebrada di padepokannya yang terletak di perbukitan Sentir atau GUnung Sentir dan menjadi murid Sunan Katong pun ditepati dengan baik. Sedangkan nama tempat di sekitar pohon Kendal disebutnya dengan Kendalsari.

Masih ada keterangan lain yang ada hubungannya dengan nama Kendal. Dikatakannya bahwa nama Kendal berasal dari kata Kendalapura. Dilihat dari namanya, Kendalapura ini berkonotasi dengan agama Hindu. Artinya, bahwa Kendal sudah ada sejak agama Hindu masuk ke Kendal. Atau paling tidak di dalam berdo'a atau mantera-mantera pemujaan sudah menyebu-nyebut nama Kendalapura.

Ada juga keterangan yang menerangkan bahwa Kendal berasal dari kata Kantali atau Kontali. Nama itu pernah disebut-sebut oleh orang-orang Cina sehubungan dengan ditemukannya banya arca di daerah Kendal. Bahkan disebutkan oleh catatan itu bahwa candi-candi di Kendal jauh lebih tua dari candi Borobudur maupun candi Prambanan.

Temuan-temuan itu patut dihargai dan bahkan bisa menjadi kekayaan sebuah asal-usul, walaupun kebanyakan masyarakat lebih cenderung pada catatan Babad Tanah Jawi yang menerangkan bahwa nama Kendal berasal dari sebuah pohon yang bernama pohon Kendal.

Kecenderungan itu karena dapat diketahui tentang tokoh-tokohnya yaitu Sunan Katong dan Pakuwojo yang mendapat dukungan dari Pangeran Benowo. Selain itu catatan-catatan pendukung lainnya justru berada di Universitas Leiden, Belanda, sebuah perguruan tinggi terkenal yang banyak menyimpan catatan sejarah Jawa.

Akan halnya cerita Sunan Katong dan Pakuwojo dalam legenda yang telah banyak ditulis itu menggambarkan sebuah prosesi, betapa sulitnya merubah pendirian seseorang, terlebih menyangkut soal agama/keyakinan. Cerita-cerita itu menerangkan bahwa antara Pakuwojo dan Sunan Katong pada akhirnya tewas bersama (sampyuh).

Cerita yang sebenarnya tidaklah demikian. Cerita itu maksudnya, begitu Pakuwojo berhasil dibuka hatinya oleh Sunan Katong, dan Pakuwojo mau mengucapkan dua kalimat syahadat dan menjadi murid Sunan Katong, berarti antara kedua tokoh itu hidup rukun sama-sama mengembangkan agama Islam.

Wali Joko/Pangeran Panggung

Wali Joko yang memiliki nama kecil Jaka Suwirya adalah kakak-beradik dengan Sunan Katong yang konon dimakamkan di Kaliwungu. Wali Joko yang di saat mudanya bernama Pangeran Panggung, merupakan putra bungsu Prabu Kertabumi atau Prabu Brawijaya V dengan Permaisuri Dewi Murdaningrum, seorang putri dari Kerajaan Campa (ada yang menyebutkan Kamboja atau Thailand saat ini.
Berdasarkan penelusuran sejarah yang berhasil dirangkum, disebutkan bahwa Wali Joko masih memiliki hubungan darah dengan Raden Patah, raja pertama Kesultanan Demak Bintoro. Dimana, Raden Patah adalah putra Prabu Kertabumi dengan Permaisuri putri Kerajaan Campa, Dewi Kian.
Saat muda, Pangeran Panggung pernah berguru pada Syeh Siti Jenar. Raden Patah yang mengetahui hal ini, kemudian menasehati Wali Joko agar meninggalkan ajaran yang dinilai menyimpang dari syariat Islam, utamanya di bidang tauhid itu. Raden Patah menyarankan agar Wali Joko belajar agama kepada Sunan Kalijaga yang beraliran ahlusunnnah wal jama’ah.
Sekitar tahun 1500 Masehi, atau tepatnya 1210 H, Pangeran Panggung mendirikan sebuah masjid di Kendal. Pangeran Panggung datang dan mendirikan masjid di daerah Kendal, setelah melewati pengembaraan yang cukup panjang. Pengembaraan yang harus dilakukan, setelah kerajaannya, yaitu Majapahit, runtuh karena diserang pasukan Prabu Girindra Wardhana dari Kediri.
Di masjid yang didirikannya, Wali Joko memiliki sejumlah santri. Beliau menanggung seluruh kebutuhan hidup para santrinya. Selain diberi pembelajaran ilmu agama, para santri juga dikaryakan antara lain dengan mengolah lahan pertanian dan tambak.
Kini, masjid peninggalan Wali Joko tersebut dikenal dengan Masjid Agung. Seiring berjalannya waktu, masjid yang berdiri ”gagah” di pusat Kota Kendal ini telah mengalami delapan kali renovasi.
Di sisi lain, tidak banyak benda-benda peninggalan yang dapat ditemui di masjid itu.
Menurut catatan takmir masjid, sejarah hanya menyisakan antara lain berupa, maksurah atau tempat shalat bagi bupati kala itu, mimbar tempat khotbah berbahan kayu jati yang di bagian muka bertuliskan tahun 1210 H, serta bergambar beduk dan penabuhnya.
Di kompleks berdirinya masjid yang saat ini sedang dibangun sebuah menara dengan tinggi 45 meter. Adanya makam di kompleks masjid, pada awalnya adalah rumah Wali Joko. Selain makam Wali Joko yang berada di depan sebelah selatan Masjid Agung Kendal, di belakang masjid juga terdapat dua makam ulama lainnya, yaitu makam Kiai Abu Sujak yang di era 1800-an adalah penghulu pertama Masjid Agung Kendal dan makam Wali Hadi yang meninggal pada 1930.
Tradisi peninggalan Wali Joko yang masih dapat ditemui di Masjid Agung Kendal, salah satunya ialah membuat tradisi buka bersama dan juga Kegiatan Tadarus di bulan Ramadan serta menggelar pengajian Kitab Kuning (kitab yang berisi uraian dan penjabaran para ulama yang bersumber dari Alquran dan Hadis.

Sunan Nyamplungan

Nama Karimunjawa menurut rakyat setempat tidak terlepas dari sosok Sunan Nyamplung yang bernama asli Amir Hasan. Dia adalah putra Sunan Muria yang sejak kecil agak dimanjakan oleh ibundanya Dewi Sujinah, sehingga perilakunya cenderung nakal. Amir Hasan dititipkan kepada pamannya, Sunan Kudus, dengan harapan perilakunya berubah dan itu menjadi kenyataan karena kemudian ia menjadi sosok pemuda yang sangat taat.
Sunan Muria yang sangat bangga melihat perkembangan putranya itu kemudian memerintahkannya pergi ke salah satu pulau yang terlihat kremun-kremun dari puncak Gunung Muria. Disertai dua orang abdi, Amir Hasan berangkat dan diberi bekal berupa dua buah biji Nyamplung untuk ditanam di pulau tersebut. Di samping itu ia juga membawa Mustaka Masjid (sampai saat ini masih berada di kompleks pemakaman Sunan Nyamplung).
Pulau yang terlihat kremun-kremun dari daratan Jawa itu akhirnya menjadi tempat tinggal Amir Hasan dan pohon Nyamplung yang ditanamnya tumbuh subur berkembang biak hingga mengitari pulau. Sampai sekarang masyarakat menyebut Amir Hasan sebagai "Sunan Nyamplungan".
Tapi saat kepergian Amir Hasan ke pulau itu rupanya tidak dengan sepengetahuan ibunya. Mengetahui anaknya tidak berada di rumah, Sang Ibu terkejut dan segera bergegas menyusulnya ke pantai. Maksudnya hanya ingin memberi tambahan bekal. Sesuai kesukaan anaknya, Nyai Sunan Muria membawakan pecel lele dan siput yang telah dimasak.
Namun, ketika ia sampai di pantai, sang anak telah berangkat bersama dua pengiringnya. Dengan rasa kecewa akhirnya bungkusan pecel lele dan bungkusan siput dibuang ke laut. Atas kehendak Tuhan, bungkusan itu terbawa ombak dan mengikuti perjalanan Amir Hasan sampai ke Karimunjawa. Hal inilah yang konon kemudian mengakibatkan ikan-ikan lele yang ada di Karimunjawa tidak memiliki patil. Areal ini sekarang dikenal dengan nama Legon Lele, yaitu kawasan di bagian timur Pulau Karimunjawa. Demikian pula, konon, sampai sekarang siput yang hidup di Legon Lele juga memiliki ciri khas, yaitu punggungnya belong.

Ular Bermata Buta
Diriwayatkan pula ketika Amir Hasan sampai di daratan Karimunjawa, ia mulai mencari tempat yang cocok untuk menyebarluaskan agama Islam. Tiba-tiba seekor ular menghadangnya. Ular itu bertubuh pendek, berwarna hitam dan sangat berbisa. Ular itu berusaha menggigit Amir Hamzah tetapi tidak mempan. Namun Amir Hamzah sangat marah dan mengutuk ular tersebut menjadi buta. Sampai sekarang jenis ular yang dikenal dengan nama 'Ular Edor' ini, matanya buta dan umumnya tidak mampu untuk bergerak di siang hari.
Konon, kayu yang digunakan Amir Hamzah mengutuk Ular Edor itu ialah Kayu Setigi. Maka tak heran jika Kayu Setigi ini kemudian dipercaya masyarakat Karimunjawa dapat menyerap bisa dari semua binatang, termasuk ular.

Kayu Dewa dan Kalimosodo
Makam Sunan Nyamplungan terletak di Puncak Gunung Karimunjawa sebelah utara. Di pintu gerbang pemakaman itu terdapat dua buah pohon besar, Masyarakat setempat menyebutnya sebagai "Kayu Dewa".
Menurut kepercayaan masyarakat di sana sampai sekarang, kayu Dewadaru ini mempunyai khasiat dan bahkan dikeramatkan. Konon, barang siapa menyimpan kayu tersebut di rumah, akan terhindar dari niat orang mencuri dan orang bermaksud jahat lainnya.
Berat jenis Kayu Dewadaru dan Kayu Segiti lebih besar dari air, sehingga jika diletakkan di air kayu tersebut akan tenggelam.
Sedangkan Kayu Kalimosodo, konon dapat digunakan untuk menghalau lelembut atau roh-roh jahat yang mengganggu manusia. Biasanya, kayu ini diisi mantra-mantra oleh "orang-orang pintar" di sana sesuai keinginan pemilik kayu.

SYEKH TEGAL ARUM

jika RADEN ADIPATI ARYO COKRONAGORO I berjiwa seperti kiai, sunan atau ulama besar tidak lain karena di dalam darahnya mengalir nilai-nilai Islam para kiai atau sunan yang menjadi pendahulunya. Misalnya seperti Kiai Nosingo (Wonosingo) yang merupakan kakeknya atau bahkan dengan Sunan Geseng.

Sunan Geseng adalah murid dari ulama besar Jawa, yakni Sunan Kalijogo. Sebutan Sunan Geseng diberikan Sunan Kalijaga kepada Kiai Cokrojoyo I karena begitu setia terhadap perintahnya sehingga merelakan badannya menjadi hangus (geseng).

Alkisah, setelah ditinggal ibundanya (yakni Nyai Ageng Bagelen atau Raden Rara Rengganis), Bagus Gentho melanjutkan hidupnya di desa Bagelen. Pekerjaan sehari-hari dilakukan menjadi petani seperti kebiasaan para leluhur. Setelah dewasa ia menikah dan memperoleh putra yang diberi nama Raden Damarmoyo.

Raden Damarmoyo mempunyai putri bernama Raden Rara Rengganis II yang setelah dewasa menikah dengan Kiai Pakotesan. Pernikahan mereka menghasilkan keturunan, yakni Pangeran Semono atau sering disebut Pangeran Muryo. Dari hasil pernikahan Pangeran Semono inilah Kiai Cokrojoyo I lahir untuk mencicipi kehidupan di dunia dan kemudian dikenal sebagai Sunan Geseng

Saat Kiai Cokrojoyo I beranjak dewasa, Islam sedang mengalir deras ke Tanah Jawa. Penyebabnya tak lain karena sepak terjang para wali yang sangat gigih menyebarkan Islam di Tanah Jawa (baca: Pusat Pengembangan Peradaban Islam Madani). Di tengah fanatisme masyarakat penganut Hindu, Budha maupun Dinamisme, Sembilan Wali menyebarkan Islam ke Tanah Jawa mulai penghujung abad 14 sampai pertengahan abad 16. Para Wali Allah tersebut tinggal di tiga wilayah strategis pantai utara Jawa, yakni Jawa Timur (Surabaya-Gresik-Lamongan), Jawa Tengah (Demak-Kudus-Muria) dan Jawa Barat (Cirebon).

Di Jawa Tengah yang menjadi pemimpin wali Allah dalam menyebarkan Islam termasuk Sunan Kalijogo. Ia sering berkelana keliling menyiarkan Islam sampai di pelosok desa maupun hutan .

Pada suatu hari Sunan Kalijogo singgah di kediaman Kiai Cokrojoyo I karena mendengar kiprah anak Pangeran Semono ini dalam menyebarkan Islam di daerahnya. Sewaktu tiba, Cokrojoyo sedang mencetak aren sambil bernyanyi dengan santai (Jawa: uro-uro).

Setelah mengucapkan salam, Sunan Kalijaga bertanya; "Berapa hasilnya setelah menjadi gula?" Cokrojoyo menjawab seketika; ”hanya cukup untuk menghidupi orang melarat”. Sunan Kalijaga lalu berkata; ”Coba gantikanlah uran-uran-mu dengan Surat Kalimah Syahadat. "Kemarilah biar aku ajarkan membacanya dan nanti jika gulanya telah tercetak bawalah kemari, aku akan melihatnya," ujar Kalijaga lebih lanjut.

Setelah mengucapkan Surat Kalimah Syahadat, Cokrojoyo meneruskan kerjanya, dan sesudah gulanya dicetak ia tutupi dengan tampi. Kemudian cetakan gula itu diserahkan ke Sunan Kalijaga. Namun betapa takjubnya ketika tutup gula itu diangkat oleh Sunan Kalijaga, dilihatnya gula aren yang baru dibuat telah berubah menjadi emas. Ia pun langsung diam terpaku hingga beberapa saat.

Sewaktu sadar, Sunan Kalijaga sudah tak di tempat. Dengan bergegas (Jawa: guralawan) Cokrojoyo mengejar dan setelah berhasil menyusul ia langsung bersimpuh pada lutut Kalijaga. Sambil berlutut ia memohon agar diperkenankan menjadi muridnya. Dikisahkan Sunan Kalijaga mengatakan; ”Anakku (Jawa: jebeng) jika sungguh-sungguh ingin menjadi murid, maka kau harus bertapa sujud di tempat ini dan jangan pergi sebelum aku datang.” Setelah berkata demikian, Kalijaga sirna dari pandangan dalam sekejap.

Syahdan, Kalijaga baru teringat dengan peristiwa itu ketika lewat di desa Bagelen dalam rangka syiar Islam keliling. Kemudian para pengikutnya diperintahkan untuk mencari tempat bertapa Kiai Cokrojoyo I. Namun karena sudah dipenuhi alang-alang dan tumbuhan liar setinggi manusia, maka tak seorangpun berhasil menemukan.

Sunan Kalijogo kemudian memerintahkan untuk membabat seluruh tumbuh-tumbuhan yang menutupi tempat itu. Tapi sekali lagi, upaya itu sia-sia. Akhirnya tak ada jalan lain kecuali membakar seluruh alang-alang dan semua tumbuhan yang telah dibabat. Dikisahkan walaupun alang-alang dan dahan-dahan tumbuhan masih basah, ketika didoakan oleh Sunan Kalijaga, api langsung menyala berkobar-kobar seperti kebakaran hutan besar. Peristiwa itu membuat penduduk di sekitarnya menjadi cemas dan ketakutan.

Setelah api reda dan semua tumbuh-tumbuhan rata dengan tanah, terlihatlah tubuh Kiai Cokrojoyo I masih dalam posisi sujud namun telah hitam hangus. Walaupun seperti tak bernyawa, namun denyut jantungnya masih berdetak dengan sangat lemah.

Sunan Kalijaga mendekati tubuh hangus itu sambil berkata; ”Hai Cokrojoyo bangunlah. Jangan enak-enak tidur, aku datang”. Seketika Cokrojoyo tersentak dan begitu melihat sang guru ia langsung bersimpuh.

Kiai Cokrojoyo I kemudian mendapat wisik ”manunggalnya kawulo dengan gusti”, yang berarti dirinya telah mencapai tingkat kesempurnaan tertentu. Setelah menerima berkah Sunan Kalijaga, hatinya merasa semakin terang (dalam istilah Jawa: kadyo mendung ingkang kabuncang ing samirono, narawang lir pendah saged muluk ing ngawiyat).

Sunan Kalijogo meneruskan wejangan kepada Cokrojoyo. Dikatakan, atas kemurahan Allah Yang Maha Kuasa, Cokrojoyo telah terbuka (Jawa: tinarbuko) memperoleh Wahyu Wali. Kalijogo meneruskan ucapannya; "Karena badanmu hangus (geseng), pakailah nama Sunan Geseng dan mulailah bermukim (Jawa: tetruko) di hutan Loano. Hutan ini kelak akan menjadi desa ramai dan akan menjadi tempat tinggal para keturunan raja."

Sunan Geseng mengembara menyebarkan agama Islam sampai ke desa Jatinom, sekitar 10 kilometer arah utara kota Klaten. Penduduk Jatinom mengenal Sunan Geseng dengan sebutan Ki Ageng Gribig, karena ia senang tinggal di rumah beratap gribig (anyaman daun nyiur).

Menurut legenda, ketika Ki Ageng Gribig pulang menunaikan ibadah haji, dilihatnya penduduk Jatinom sedang kelaparan. Ia kemudian membagikan sepotong kue apem kepada ratusan orang yang kelaparan. Kepada semua orang yang menerima secuil kue itu disuruhnya makan sambil berzikir: Ya-Qowiyyu (Allah Maha Kuat). Anehnya, seketika semuanya merasa kenyang dan sehat. Sampai kini, masyarakat Jatinom masih menyelenggarakan upacara ”Ya-Qowiyyu” setiap bulan Syafar.

Upacara itu dimulai masyarakat dengan membuat kue apem lalu disetorkan ke masjid. Apem yang terkumpul hingga 40 ton itu berjumlah sekitar ratusan ribu potong. Puncak upacara berlangsung usai shalat Jumat. Dari menara masjid, kue apem disebarkan oleh para santri sambil berzikir; "Ya Qowiyyu..." Ribuan orang yang menghadiri upacara itu kemudian memperebutkan apem ”gotong royong” yang disebut apem ”Jokowiyu”.
Dikisahkan setelah 40 tahun kemudian, yang bertahta di kerajaan Mataram adalah Kangjeng Sinuwun Anyokrowati (1612-1621). Istri prameswarinya adalah Kanjeng Ratu Mas Hadi, putri dari Pangeran Adipati Benowo di Pajang. Pangeran Adipati Benowo ini adalah putra dari Joko Tingkir (Kangjeng Sinuwun Hadiwijoyo).

Kangjeng Sinuwun Anyokrowati mempunyai kakak laki-laki bernama Pangeran Wiromenggolo yang berambisi menjadi raja. Karena obsesi itu ia bertapa siang dan malam dan berguru pada Sunan Geseng di Tegal Bekung untuk mencapai kesempurnaan hidup. Karena bertapa melebihi batas kemampuan, Pangeran Wiromenggolo menemui ajalnya. Dikisahkan sukmanya merasuk ke dalam ikan tombro bersisik kencana (ikan mas).

Pada saat bersamaan, sang prameswari Kangjeng Ratu Mas Hadi sedang mengandung dan ngidam ikan tombro bersisik emas. Keinginannya itu disampaikan berkali-kali kepada suaminya Kangjeng Sinuwun.

Dalam pada itu Kangjeng Sinuwun mendengar kabar bahwa Sunan Geseng memiliki sebuah jala sutra dengan biji pemberat dari emas, yang khusus hanya untuk menjala ikan tombro. Oleh karenanya, sang Prabu mengirim utusan untuk minta bantuan Sunan Geseng menangkap ikan tombro bersisik kencana seperti yang diinginkan sang Ratu.
Akhirnya keinginan sang Ratu Ratu terpenuhi dan lahirlah bayi laki-laki yang diberi nama Raden Mas Jatmiko (atau Raden Mas Rangsang). Setelah Sinuwun Anyokrowati wafat, kedudukannya diganti oleh putranya Raden Mas Jatmiko, dengan gelar Kangjeng Sinuwun Sultan Agung Anyokrokusumo (1621-1636).

Sang Prabu juga berguru ilmu kesempurnaan pada Sunan Geseng, sampai pada tingkat penguasaan yang tinggi (Jawa: widagdo waskitho ing samudayanipun). Atas jasanya, Sunan Geseng dianugerahi sebidang tanah jabatan (siti lenggah) dengan nama Kiai Ageng Jolosutro.

Kini makam Sunan Geseng di Kabupaten Bantul, Yogyakarta dikenal Makam Jolosutro dan dikeramatkan orang untuk diziarahi terutama pada Selasa Kliwon dan Jumat Kliwon.

Perkawinan Sunan Geseng melahirkan anak perempuan bernama Nyai Tumenggung Kertisara yang pada saat dewasa bersuamikan Bupati Jenar. Bupati Kertisara memiliki anak bernama Wiratantana yang memiliki anak perempuan bernama Raden Rara Sragu. Dari hasil perkawinannya, Raden Rara Sragu memiliki dua orang putera, yakni Kertamanggolo (kemudian bergelar Adipati Nilasrobo I atau Cokrojoyo II) dan Raden Bumi.

Dikisahkan Kertamanggolo memiliki perawakan yang agak aneh sehingga sering disebut Joko Bedug. Karena itu ayahnya memerintahkan untuk tapa brata secara ”gentur”, mengurangi tidur serta makan, dengan tekad agar segera diampuni oleh Yang Maha Kuasa. Setelah beberapa waktu, dikisahkan ia mendapat ampun dari Tuhan YME dan kembalilah wujudnya seperti sediakala, yaitu sebagai manusia.

Konon ”genturnya” Joko Bedug didengar Sang Raja Mataram. Karena itu ia diangkat menjadi Bupati di Bedug dengan nama, Raden Adipati Nilosrobo I. Setelah wafat ia dimakamkan dekat dengan Petilasan Nyai Ageng Bagelen.

Raden Adipati Nilosrobo I mempunyai putra, Raden Cokrojoyo III (Tumenggung Rogowongso atau Raden Adipati Danurejo). Setelah ditinggal wafat ayahnya, Raden Cokrojoyo III diperkenan oleh Sinuwun di Mataram untuk menggantikan kedudukan ayahanda sebagai Bupati di Bedug.
Semasa hidupnya, Raden Cokrojoyo III mengalami berbagai peristiwa huru-hara. Tidak jelas berapa lama perang itu berlangsung, tetapi yang jelas ketika Sinuwun Pakubuwono I mangkat dan kemudian digantikan oleh putranya (bergelar Sinuwun Mangkurat Jawa/Agung), Kia Patih Cokrojoyo III masih di Surabaya.

Pengabdian Kiai Patih Cokrojoyo III di segala bidang sangat luar biasa. Akibatnya Sinuwun Mangkurat Jawa/Agung menganugerahkan pangkat Adipati. Dengan gelar Adipati Danurejo, beliau meneruskan pengabdiannya sebagai Patih Kerajaan. Pengabdian itu berlangsung setelah Sinuwun Mangkurat Jawa/Agung mangkat dan digantikan oleh putranya yang bergelar Sinuwun Paku Buwono II.

Saat pergantian tampuk pimpinan kepada Raja yang masih muda itu, Kyai Patih diberhentikan dari jabatannya, dan bahkan dikisahkan dibuang ke Jakarta. Sesungguhnya Kyai Patih sudah mengabdi pada tiga Raja, yaitu Sinuwun Paku Buwono I, Sinuwun Mangkurat Jawa/Agung dan Paku Buwono II. Kalau dihitung, jumlah pengabdiannya semasa jaman Pangeran Puger sudah berlangsung selama 45 tahun.
Cerita kembalinya Adipati Danurejo ke Bagelen memang masih misteri. Namun setelah ia dan istrinya wafat, jasadnya dimakamkan di pegunungan Gemulung di desa Bagelen, tidak jauh dari petilasan Nyai Ageng Bagelen.

Saat ini, makam Kiai Cokrojoyo III atau Tumenggung Rogowongso atau Raden Adipati Danurejo sudah dicungkup dengan dinding tembok. Makam itu dikenal nama Makam Rogowangsan, terletak di desa Bagelen Kabupaten Purworejo Jawa Tengah.

Kembali pada kisah Raden Adipati Danurejo, ia beristrikan adik dari Sinuwun Paku Buwono II yang merupakan keturunan dari Sinuwun Mangkurat Jawa/Agung. Istrinya bernama Bandoro Raden Ayu Tungle yang sehari-harinya disebut (Jawa: apeparab) Kleting Dadu.
Sebelum menikahi Raden Adipati Danurejo, BRA. Tungle sudah kawin dengan Raden Nosuto yang disebut juga Wirosuto. Raden Nosuto masih bersaudara sepupu dari Raden Adipati Danurejo, yaitu putra dari Joko Bumi, kakak laki-laki (Jawa:roko) dari Joko Bedug alias Raden Nilosrobo I.

Perkawinan BRA. Tungle dengan Raden Nosuto menurunkan tiga orang anak laki-laki, yakni:

1. Raden Tumenggung Cokrojoyo I yang dikenal dengan nama Cokrojoyo Mbalik. Selama perang Giyanti ia menjadi pendamping Tumenggung Arung Binang;
2. Raden Kertoyudo;
3. Raden Hudosoro atau Yudosoro;

Perkawinan dengan Raden Adipati Danurejo, BRA. Tungle mempunyai 6 orang anak;

1. Raden Ayu Lebe (kemudian menikah dengan Syeh Baulowi);
2. Raden Ayu Notoyudo III (yakni istri Raden Tumenggung Notoyudo III, Bupati Kedu);
3. Raden Nilosrobo (tidak memiliki keturunan);
4. Raden Tumenggung Kartomenggolo (dimakamkan di Bedug);
5. Raden Rogoyudo (dimakamkan di Bagelen);
6. Raden Ayu Nosingo (menjadi istri Kiai Nosingo di Bragolan);

Perkawinan Raden Ayu Nosingo (Wonosingo) dengan Kiai Nosingo (Wonosingo) melahirkan keturunan dua anak laki-laki, yakni:

1. Raden Mas Singowijoyo;
2. Raden Mas Singogati

Setelah menikah, Raden Mas Singowijoyo (Raden Bei Singawijaya) memiliki tiga orang putera yang salah satunya kemudian menjadi Bupati pertama Purworejo):

1. Raden Rekso Diwiryo (RAA Cokronagoro I, Bupati Purworejo);
2. Raden Nganten Citrowikromo;
3. Raden Prawironagoro (Raden Tumenggung Prawironagoro, Wedana Bragolan);

Dari Raden Adipati Aryo Cokronagoro I lahir bupati-bupati Purworejo penerusnya sampai Raden Mas Tumenggung Cokronagoro IV. Adik bungsu RAA Cokronagoro I, yakni Raden Tumenggung Prawironagoro mempunyai anak bernama Raden Ayu Cokroatmojo yang menjadi istri Raden Adipati Cokroatmojo, Bupati Temanggung. Raden Adipati Cokroatmojo sendiri adalah putra Raden Gagak Handoko dari Loano.

Sementara Raden Mas Singogati di Jenar mempunyai putra Raden Singodrio dari Bakungan, cucu dari Raden Singowijoyo di Bragolan atau cicit Raden Singodiwongso (Kiai Singodiwongso) dan terus mengalir sampai kini.

Sunan Gribig

Syekh Wasibagno
Kyai Ageng Gribig Jatinom
Asal keturunan kyai-kyai Jawa memilki akar yang sama, yakni para wali sunan pembawa islam ke tanah jawa dari jalur Arab, mereka memiliki padepokan pesantren dengan asimilasi kuat budaya setempat. Nama terkenal di era kini adalah Wali Songo terutama Sunan Malik Ibrahim yang berpengaruh besar melahirkan Kerajaan Demak Bintara. Di masa peletakan dasar Mataram Islam ini terdapat nama Ki Ageng Gribig (KAG) yang dikenal sebagai “Syekh Wasibagno”, kata wasi berakar dari akar kata wasiat yakni bahwa beliau pemegang wasiat dakwah islam wilayah tengah tanah Jawa di Jatinom Klaten.
Silsilahnya menurut Indarjo seorang Wedana Jatinom pada rapat panitia Yaqawiyyu tanggal 11 Sapar 1884 / 30 Oktober 1952 dalam buku Riwayat Kyai Ageng Gribig Jatinom Klaten, mengarah langsung kepada Raja Brawijaya Majapahit. Menurut sumber ini, keturunan langsung beliau adalah:
1. Kyai Gambiran
2. Kyai Gribig II
3. Den Mas Sahid (ibu dari Pajang)
4. Kyai Tafsir Imam
5. Ki Bagus Kentolingalas
Sumber lain mengatakan bahwa putra putri beliau juga Nyai Ageng Penganten dan Kyai Ageng Lebak yang memiliki putera Kyai Ageng Abdul. Nama KAG juga menurunkan pendiri Muhammadiyah, yakni Kyai Haji Ahmad Dahlan. Data selengkapnya bisa kita baca berikut ini:
Maulana Malik Ibrahim, Maulana Ishaq, Maulana Ainul Jaqina,
Maulana Mohammad Fadlu’llah (Prapen), Maulana Sulaiman Ki Ageng Gribig (Djatinom),
Demang Djurang Djuru Sapisan, Demang Djurang Djuru Kapindo, Kijai Iljas, Kijai Murtadla,
K. Hadji Mohammad Sulaiman, K.H. Abubakar, K.H. Achmad Dachlan (Mohammad Darwis).
(Sumber :
MUHAMMADIJAH SETENGAH ABAD 1912-1962
Diterbitkan oleh Departemen Penerangan RI Djakarta, 23 Djanuari 1963).
Di dalam kompleks makam KAG di Jatinom Klaten tersembunyi kekayaan sejarah tak terhingga yang dapat membuka fakta terlupakan, bahwa tanggung jawab Muhammadiyah tidak terhenti sepeninggal pendirinya, seperti soal simbol-simbol kejawen di dalam makam dan hal-hal menyangkut amal ibadah terkait. Generasi muda islam perlu membaca makam sebagai candi dengan menggunakan semiotika (semiologi), seperti di dalam kompleks Makam KAG terbaca jelas lambang Majapahit, sebagaimana bahwa lambang Muhammadiyah adalah hastabrata yang juga banyak terdapat di komplek Makam Trowulan. (Perkempalan Tjap Orang Jadzab, TOJ, Jogjakarta, 2008).
Menelusuri Islam di Era Majapahit:
Dari acara Waosan TOJ saat Hantlusuri Tapak Tilas Yasan Kyai Ageng Gribig Jatinom, 11 Desember 2008 terungkap bahwa sesungguhnya KAG saat awal 1501M-1600an) adalah figur yang amat berpengaruh menyiapkan kekuatan Kstatria Mataram termasuk seorang figur guru utama dari Sultan Agung Hanyakrakusuma (SA) mulai 1613 – 1646 dan penyiapan pasukan Mataram ke Batavia. KAG seperti tersebut di atas dan terbukti kemudian amat berpengaruh dalam diri SA beserta kebesaran nama beliau dalam sejarah islam Jawa.
Berdiri Beteng Kotagede 1506, tanda berdiri kraton di alas Mentaok dekat Kotagede sekarang. Ramanda beliau Pangeran Senopati (PS) jumeneng 1582 berjarak masa 80 tahun dari era berdirinya Beteng Kotagede Mataram. Sultan Agung jumeneng di Kraton Kotagede 1617 saat beliau masih berusia 15 tahunan yang waktu kecil bergelar Raden Bagus Jatmika dan dalam berguru agama islam beliau dikirim oleh PS kepada KAG Jatinom, saat itu berusia 5 tahun-an telah menghafal al-Qur’an al-Karim. Dalam mendidik, oleh KAG Jatmika kecil diberi Cincin Merah Delima lalu dibacakan kitab-kitab agar Jatmika menyimak bacaan serta diiringi suara Kodok Ngorek, istilah bahasa Arab yang artinya Qadha Qari, bahwa KAG sebagai pembaca tugas-tugas tanggung jawab keislaman pada Jatmika kecil. Kelak saat dewasa bahkan diakui keislaman Jatmika ini dalam jejak sejarah islam dunia.
Sultan Agung lalu pindah ke Kerta, namun tetap beliau amat menghormati KAG yang dibuktikan dengan berdirinya Masjid Alit Jatinom Klaten, dibangun oleh SA dengan cara “melanting” bahan-bahan material masjid kesemuanya dari Kraton Kotagede, bisa dibayangkan berapa KM jarak dan berapa panjang manusia melanting material bangunan saat itu. Bukti lain beliau sangat dihormati oleh Sultan adalah ketika Raden Jatmika telah dianggap cukup ilmunya, dipanggillah dia ke Sunan Tembayat Samarang, disana sebetulnya Tembayat telah tiada, hanya menemui pusaranya untuk bekti dan berguru. Keberadaan KAG juga terngiang saat Sultan berada di Wotgaleh Ngayogyakarta, SA tetap berkait pada gurunya. Wiritnya saja Ya Qawiyu Ya Aziz adalah senjata perang Sabilillah 1628 dan1629 ke Batavia, dari wirit ini kini dikenal tiap bulan Sapar Kalender Jawa ada Upara Yaqawiyyu di Jatinom, fakta bahwa betul-betul KAG amat penting posisinya dalam sejarah Mataram Islam.
Era ke belakang yakni sebelum Mataram ada Pajang, Demak, lalu ada nama Bre Kertabumi (Brawijaya v) raja Majapahit. Pelajaran Sejarah mengajarkan bahwa kerajaan ini merupakan Kerjaan Hindu, padahal data makam di Tralaya Trowulan Mojokerto terdapat kompleks Trah Ulama Majapahit, seperti makam Pusponegoro, Sayyid Jumadil Kubro, kturunan ke-8 Nabi Muhammad SAW, disana terdapat 3000an makam dan janazah tidak diaben (dibakar) seperti layaknya penganut Hindu Bali misalnya. Bukti lambang hastabrata Surya Majapahit banyak kita temui di komp[leks tersebut, termasuk inskripsi kalimat tauhid, tanda hilal bulan sabit, tulisan qullu syain haaliqum illa wajhahu, akasara jawa banyak pula tertera disamping tulisan wa allah a’lam dan warna warni kalimatullah disamping simbul kala (mangsa, era, zaman), naga, yoni atau aneka ukiran jawa islam lain.
Suryo Majapahit dapat dilihat pula di buku sejarawan barat seperti Denys Lombart pada edisi Nusa Jawa jilid 1 sengaja memuat hastabrata Surya Majapahit itu secara terbalik, serta lambang ini juga terlihat sama persis dengan lambang yang dipergunakan oleh Perserikatan Muhammdiyah. Surya Majapahit dan hilal juga bermakna kayun-darain dari kalimat Hayyun fid daarain hidup dalam dua alam yaitu dhahir dan ghaibiyah, sebagai kesadaran keimanan telah terbentuk di era Majapahit yang digolongkan Hindu itu. Tersebut juga pada Serat Sabdopalon Nayagenggong dan babad tanah Jawi lain bahwa Raja Brawijaya V telah memeluk islam. Jika Islam hanya mementing persoalan formal (dhahiriyah) saja, maka lahirlah 500-an tahun dari masa babad tersebut era dakwah islam akan kembali kepada budi pekerti, pada hal-hal bathiniyah. Menurut penjaga makam mataram di Ngayogyakarta Hadiningrat bernama Mbah Sopiyan, 107thn, orang yang sangat mengenal makam-makam tua di seluruh Jawa Tengah bahwa KAG memang keturunan Brawijaya V.
Bukti lain di dalam kompleks makam Demak Bintara juga terdapat Surya Majapahit dan lambang laut, artinya bhw Raden Patah yang bergelar Syah Alam Akbar ke-1 selaku Panglima Angkatan Perang Majapahit. Sunan Adipati Unus ke-2 telah syahid dalam peperangan mengusir Portugis di Selat Malaka, ke-3 Sunan Trenggono dan kepemimpinan beliau dilannjut oleh Sunan Prawoto Syah Alam Akbar ke-4 dan seterusnya dalam mengusir penjajah. Nama KAG sejak masa Demak telah beperan sangat besar menyiapkan energi para ksatria dan bintara, istilah wali juga melekat pada KAG, bermakna pengemban tugas kewalian sebagaimana para aulia’, KAG adalah seorang kyai yang dengan caranya diatas telah menegakkan dakwah islam di tanah jawa. Maka melupakan akar kesejarahan dengan simbol-simbol keagamaan di sejumlah makam kyai juga persoalan besar yang kini melanda banyak pegiat syiar agama terutama Islam di tanah Jawa

Sunan Geseng

Bismillahirrohmaanirrohiim

“ Asyhadu allaa ilaaha illallooh wa asyhadu anna muhammadar rosuululloh. ”

Segala puji bagi Allah SWT yang telah melimpahkan nikmat dan anugerah-nya kepada kita semua, sholawat dan salam semoga senantiasa terlimpahkan kepada junjungan kita, hamba-Nya yang terkasih Rosuululloh Muhammad SAW, keluarga dan sahabatnya serta semua pengikut beliau hingga akhir zaman, amin.

Barang siapa mencintai Nabi Rosul Allah beserta Wali – Nya, berarti ia juga termasuk dalam mahabah kehadirot Allah SWT. Dengan kondisi yang seperti itu makanya kami ingin sedikit mengingat sejarah para Wali Allah di Tanah Jawa yang mengembangkan Agama Islam sebagai rohmatan lil ‘alamin.

Telah menjadi sunatullah pada masa zaman Majapahit bergulirlah suatu perjalanan permasalahan aqidah dari Hindu – Budha menjadi Islam yang di awali dengan berdirinya Kerajaan Demak Bintoro yang dirajai oleh beliau Raden Patah. Berdirinya Kerajaan Islam di Demak Bintoro Insya Allah pada tahun 1403, yang di sponsori oleh Majelis Wali Songo yang mansyur dengan metode dakwahnya dan kearifan juga keramatnya. Dengan partisipasinya wali songo ini, Allah telah menentukan kehendaknya Kerajaan Islam Demak Bintoro menjadi Kerajaan Besar dan berpengaruh di bumi tanah jawa dan sekitarnya. Dari awal ini kami ingin mengutarakan mahabah kami terhadap wali Allah yang bernama Ki Cokrojoyo yang akhirnya terkenal dengan Sunan Geseng. Pada zaman wali songo terkenallah seorang wali dari jawa yang bernama Raden Said yang terkenal dengan Sunan Kalijogo.

Pada saat itu Sunan Kalijogo syiar agama Islam di suatu daerah, beliau bertemu dengan seorang hamba Allah yang bernama Ki Cokrojoyo, istrinya bernama Rubiyah dan memiliki seorang putra bernama Joko Bedug, pekerjaan Ki Cokrojoyo menyadap gula kelapa, walau hanya dengan kehidupan yang sederhana keluarganya tentram dan bahagia, karena Ki Cokrojoyo dan keluarganya “ nrimo ing pandum ” dengan ketentramannya itu Ki Cokrojoyo senang bersenandung ( uro-uro ), dalam perjalanan syiarnya Kanjeng Sunan Kalijogo bertemu dengan Ki Cokrojoyo, yang akhirnya diajarkan Kalimat Dzikir yang dilantunkan dengan pujian.

Hari – hari Ki Cokrojoyo selalu pujian dengan kalimat yang diajarkan oleh Wali Allah Sunan Kalijogo, dan suatu saat keajaiban terjadi dengan amalan itu saat Ki Cokrojoyo mengambil hasil panennya yang dibuat gula kelapa tiba-tiba berobahlah gula kelapa itu menjadi emas, namun Ki Cokrojoyo tidak menjadi bangga malah beliau langsung bersiku dan berpamitan pada istri dan anaknya untuk mencari Kanjeng Sunan Kalijogo.

Setelah ketemu Kanjeng Sunan Kalijogo menerima Ki Cokrojoyo di terima sebagai murid dan disuruhnya bertapa, yang insya allah dilakukan satu tahun. Setelah satu tahun Kanjeng Sunan Kalijogo teringat akan kondisi muridnya yang bertapa lalu dicarinya dalam pencarian tempat yang digunakan bertapa telah menjadi hutan alang-alang yang akhirnya dibakar oleh Kanjeng Sunan Kalijogo, setelah habis alang-alangnya barulah tampak Ki Cokrojoyo masih dalam kondisi bertapa dan gosong, karena terbakarnya dengan ilalang dan pada saat itu dibangunkannya Ki Cokrojoyo dengan ucapan salam Kanjeng Sunan Kalijogo yang akhirnya terbangun dan langsung sungkem ( sujud ) terhadap Gurunya, setelah itu Kanjeng Sunan Kalijogo memerintahkan untuk mandi dan menyuruh pulang menemui keluarganya, setelah ketemu keluarga diceritakannya segala kejadian pada istrinya dan anaknya. Istri dan anak ikut bersyukur kehadirat Allah atas diselamatkannya Ki Cokrojoyo atas bimbingan Kanjeng Sunan Kalijogo.

Dari perjalanan itu diangkatlah derajat Ki Cokrojoyo di hadapan Allah menjadi Wali Allah, maka Ki Cokrojoyo di beri nama oleh Kanjeng Sunan Kalijogo menjadi Sunan Geseng untuk mengingat laku dan ketawadukannya terhadap Guru sehingga bisa mencapai derajat mulia. Dan setelah itu di tugaskannya Sunan Geseng oleh Sunan Kalijogo untuk syiar Islam, khususnya mengajak masyarakat untuk bertauqid membaca dua kalimat syahadat yang terkenal ajakan Sunan Geseng yaitu masalah ( sasahidan ) membaca dua kalimah syahadat dan menjalankan ajaran Rosul Muhammad SAW.

Selain Sunan Geseng ada murid-murid Sunan Kalijogo yang terkenal lagi yaitu Sunan Bayat (Klaten), Syekh Jangkung (Pati) dan Ki Ageng Selo (Demak). Dari riwayat itulah maka kami jama’ah Dzikrurrohmah sedikit mengingat sejarah beliau karena beliau termasuk Wali Allah yang juga berjasa dalam pengembangan Islam di Tanah Jawa.

METODE DAKWAH ” SUNAN GESENG ”

Sunan Geseng berdakwah dengan sangat santun dan arief, yaitu melakukan pendekatan budaya dengan masyarakat jawa. Seperti yang di lakukan Gurunya Kanjeng Sunan Kalijogo, Berda’wah dengan menggunakan wayang kulit, melakukan selamatan yang tujuannya untuk bersedekah dan muji syukur kehadirat Allah, serta memuliakan tamu-tamu santri, umat, masyarakat, pejabat yang diajak berdzikir dan puji-pujian. Dengan cara itulah masyarakat jawa yang tadinya hindu, budha diajak menyeberang ke Islam.

Begitulah bijaknya Sunan Geseng Wali Allah tidak mematikan budaya-budaya yang baik dan luhur. Yang dilakukan dengan tidak melanggar aqidah dan syariat, tapi sangat ampuh untuk menyatukan, umat masyarakat. Dengan kondisi seperti itu, maka jama’ah Dzikrurrohmah Sunan Geseng di Kediri, melajutkan cara yang bijak tersebut dengan mengadakan kegiatan pada Bulan Muharom ( suro ), melakukan barokahan amaliyah Dzikrurrohmah dan membaca Sholawat Nabi 1000 kali, secara berjama’ah selama 40 malam yang dilakukan di Aula Sunan Geseng, Kediri. Setelah mencapai hari ke – 40 diadakan khataman dengan bersedekah 40 tumpeng komplit yang pada acara itu untuk memuliakan para tamu, santri, dan kalangan pejabat, ulama, kyai dan masyarakat luas dengan makan bersama, yang juga dihibur dengan musik jemblung dengan lantunan puji-pujian sholawat Nabi, serta diadakan pengajian, untuk menambah khasanah tentang agama Islam, sebagai agama Rohmatan Lil’alamin.

Kondisi yang dijalankan jama’ah Dzikrurrohmah seperti itu, bertujuan memperkuat ukhuwah, menyambung silaturohmi mengajak bersedekah. Dan berdzikir bersama sesuai anjuran Kanjeng Rosul Muhammad SAW. Dan masih ada kegiatan ibadah yang dilakukan jama’ah yaitu amaliyah di Bulan Maulud dan Bulan Romadhon, serta Haul Kanjeng Sunan Geseng. Alhamdulillah telah mendapat dukungan dari umat masyarakat, kyai dan para pejabat Pemerintah Kota Kediri.

Semoga dari sedikit penjelasan ini kita bisa melanjutkan perjuangan beliau Sunan Geseng dan Wali-Wali Allah semua sebagai generasi penerus Nabi Rosul Muhammad SAW. Kami kira hanya ini yang sanggup kami aturkan sekelumit sejarah dari Wali Allah Sunan Geseng, kami yang banyak kurang dan khilaf mohon maaf, astaghfirullohal’ adzim dan sebagai seorang hamba kami hanya bisa bertawaduk atas perintah Allah – Nabinya dan Wali-nya yang telah mendapat kemuliaan di sisi – Nya. Semoga menjadi manfaat, amin.

Nama-Nama Kasepuhan Sunda & Tempat Keramat



I. Garut. 
1. Sunan Pancer / Cipancar / Prabu Wijaya Kusumah ( Limbangan )
2. Eyang Rangga Megat sari ( Pasir astana Limbangan )
3. Rd.Lenggang Ningrat ( Pasir astana Limbangan )
4. Rd.Lenggang sari ( Pasir astana Limbangan )
5. Rd.Lenggang Kencana ( Pasir astana Limbangan )
6. Rd.Rangga megat sari ( Pasir astana Limbangan )
7. Rd.Wangsa dita 1 ( Pasir astana Limbangan )
8. Rd.Wangsa dita 2 ( Pasir astana Limbangan )
9. Rd.Lenggang kencana ( Pasir astana Limbangan )
10. Eyang Geusan Ulun ( Pasir astana Limbangan )
11. Eyang seren sumeren / paku bumi ( Pasir astana Limbangan )
12. Sunan Rumenggong ( Poronggol Limbangan )
13. Eyang Sepuh ( Gunung Ageung Pangeureunan Limbangan )
14. Eyang Bangkerong ( Pangeureunan Limbangan )
15. Eyang Batara Kusumah ( Pangeureunan Limbangan )
16. Eyang Dipati Ukur ( Gunung Tanjung Limbangan )
17. Eyang Geureudog panto ( Gunung Tanjung Limbangan )
18. Eyang Jagat Nata ( Gunung Batara Guru Limbangan )
19. Eyang Taji Malela ( Kaki Gunung Batara Guru Limbangan )
20. Eyang Prabu Adnan Wisesa ( Cihanjuang Limbangan )
21. Nyimas ratu ratna Ningrum ( Cihanjuang Limbangan )
22. Eyang Simpay ( Cihanjuang Limbangan )
23. Dalem Emas ( Cikiluwut Limbangan )
24. Dalem Santri ( Cikiluwut Limbangan )
25. Dalem Petinggi ( Cikiluwut Limbangan )
26. Dalem Saba dora ( Cikiluwut Limbangan )
27. Dalem Paraji ( Cikiluwut Limbangan )
28. Dalem Dukun ( Cikiluwut Limbangan )
29. Eyang Tongka Kusumah ( Sempil Limbangan )
30. Eyang Giwang kawangan ( Sempil Limbangan )
31. Eyang Gagak lumayung ( Sempil Limbangan )
32. Eyang Surya kanta kancana ( Rema / Sempil Limbangan )
33. Eyang Rd.Indra triwilis / Jaga riksa ( Pasir paranje Limbangan )
34. Embah Khotib ( Leuwi karet pasir astana Limbangan )
35. Dalem Demang ( Leuwi karet pasir astana Limbangan )
36. Embah Ronggeng ( Leuwi karet pasir astana Limbangan )
37. Embah Tanjung ( batu rompe astana Limbangan )
38. Dalem Santri ( Simpen Limbangan )
39. Eyang Tongeret,Eyang Rongkah, Eyang Santri ( Simpen )
40. Uyut Asep ( Cisalam Simpen Limbangan )
41. Ebah Mulud,Eyang Raksa, Eyang Agus ASAR Pugeuran (Simpen)
42. Eyang Garada ( Simpen Limbangan )
43. Eyang Bentang ( Cijolang Limbangan )
44. Eyang Slamara ( Slamara Limbangan )
45. Mama Kindam ( Cijolang Limbangan )
46. Eyang Anwar ( Cibalampu Limbangan )
47. Eyang Salinggih ( Cicadas Limbangan )
48. Dalem Rangga prana / Kiara lawang ( Kiara lawang Limbangan )
49. Eyang Bustamil ( Astana balong Limbangan )
50. Syeh Yusuf ( Astana balong Limbangan )
51. Dalem Kaum / Wangsa reja ( Kaum Limbangan )
52. Eyang Balung tunggal ( Monggor Limbangan )
53. Dalem Kasep / Wijaya Kusumah ( Batu karut Limbangan )
54. Eyang Pasir rakit ( Saapan Limbangan )
55. Eyang Nuriyyah ( Leuwi bolang Limbangan )
56. Eyang Siti bagdad ( Cikeuleupu Limbangan )
57. Eyang Wira bangsa ( Cikeuleupu Limbangan )
58. Dalem Pakemitan ( Cimanjah Limbangan )
59. Dalem Sayita ( Leuwi bagong Limbangan )
60. Eyang Carios ( Pasir waru Limbangan )
61. Uyut Asep ( Ranca panjang Limbangan )
62. Eyang Nangka baya ( Cipicung Cigagade Limbangan )
63. Eyang Jaksa ( Baduyut Cipeujeuh Limbangan )
64. Dalem Cibingbin ( Cibingbin Selaawi )
65. Embah Yadi ( Garela Selaawi )
66. Dalem Camat ( Nagrog Selaawi )
67. Eyang Abdul mutholib ( Kp. Situ gede Putra jawa Selaawi )
68. Eyang Jawa / Aria Jaya Kusumah ( Putra jawa Selaawi )
69. Eyang Reuntas Kikis ( Kp. dadap Putra jawa Selaawi )
70. Eyang Suta Bangsa, Jaga Satru, Jaga Bela ( Putra jawa selaawi )
71. Maqom Kiaya / Nur A’sim ( Cikuya Selaawi )
72. Maqom Sempur,Maqom Dapa,Maqom Dalem cikuya ( Cikuya )
73. Eyang Kesrek Pangangonan ( Gunung Pabeasan Selaawi )
74. Eyang Munding wangi ( Cisorok Gunung Pabeasan Selaawi )
75. Bangun Rebang,Mangun Dipa ( cihaseum
76. Bangsuwita / Antiyeum ( Gunung Pabeasan
77. Nyimas Mayang Sari ( Gunung Palasari Selaawi )
78. Prabu Kartadikusumah ( Leumah Putih Selaawi )
79. Prabu Surya kencana, ( Depok Selaawi )
80. Eyang mangkudjampana (G. Tjakrabuana, Malangbong Garut)
81. Eyang Dahian bin Saerah (Gunung ringgeung, garut)
82. Embah Mansur Wiranatakusumah (Sanding,malangbong Garut)
83. Embah Sulton Malikul Akbar (Gunung Ringgeung Garut)
84. Embah Gurangkentjana (Tjikawedukan, G. Ringgeung malangbong Garut)
85. Eyang Istri (Susunan Gunung Ringgeung Malangbong)
86. Embah Hadji Sagara Mukti (Susunan Gunung Ringgeung)
87. Eyang Yaman (Tjikawedukan, Gunung Ringgeung Garut)
88. Eyang Pangtjalikan (Gunung Ringgeung malangbong Garut)
89. Raden Ula-ula Djaya (Gunung Ringgeung malangbong Garut)
90. Eyang Andjana Suryaningrat (Gunung Puntang Garut )
91. Eyang Mandrakuaumah (Gunung Gelap Pameungpeuk, Garut)
92. Raden Rangga Aliamuta (Kamayangan, Lewo-Garut)
93. Eayang Wali Kiai Hadji Djafar Sidik (Tjibiuk Limbangan, Garut)
94. Eyang Prabu Mulih / Syeh Abdul jabar (Tjibiuk Limbangan)
95. Eyang A’syim (Tjibiuk Limbangan, Garut)
96. Eyang Siti Fatimah (Tjibiuk Limbangan, Garut)
97. Eyang Imam Sulaeman (Gunung Gede, Tarogong Garut)
98. Embah Djaksa (Tadjursela, Wanaraja Garut )
99. Mamah Kiai hadji Yusuf Todjiri (Wanaradja Garut)
100. Syekh Sukri (Pamukiran, Lewo Garut)
101. Embah Ranggawangsa (Sukamerang, bandrek, Garut)
102. Embah Djaya Sumanding (Sanding Garut)
103. Eyang Dewi Pangreyep (Gunung Pusaka Padang Garut)
104. Ibu Mayang Sari (Nangerang Bandrek, kersamanah Garut)
105. Eyang Prabu Widjayakusumah (Susunan Payung Bandrek cibatu garut)
106. Embah Wali Hasan (Tjikarang Bandrek, kersamanah Garut)
107. Prabu Naga Percona (Gunung Wangun Malangbong Garut)
108. Raden Karta Singa (Bungarungkup Gn Singkup Garut)
109. Embah Braja Sakti (Cimuncang, Lewo malangbong Garut)
110. Prabu Sada Keling (Cibatu Garut)
111. Embah Liud (Bunarungkup, Cibatu Garut)
112. Prabu Kian Santang (Godog Suci, garut)
113. Embah Braja Mukti (Cimuncang, Lewo Garut)
114. Eyang mangkudjampana (Gunung Tjakrabuana, Malangbong)
115. Eyang Adnan Wisesa (Gunung Tjakrabuana, Malangbong Garut)
116. Eyang Mandrakuaumah (Gunung Gelap Pameungpeuk, Garut)
117. Raden Rangga Aliamuta (Kamayangan, Lewo-Garut)
118. Aki Mandjana (Samodja, Kamayangan Lewo-Garut)
119. Eyang Raksa Baya (Samodja, Kamayangan Lewo-malangbong-Garut)
120. Syekh Sukri (Pamukiran, Lewo malangbong Garut)
121. Embah Djaya Sumanding (Sanding)
122. Embah Mansur Wiranatakusumah (Sanding)
123. Eyang Sakti barang / Embah wali Jaenulloh ( Sanding )
124. Eyang Prabu Widjayakusumah (Susunan Payung Bandrek kersamanah )
125. Eyang Jaya Kelana (Sada keeling Sukaweuning Garut)
126. Eyang Siti Sakti (Sada keeling Sukaweuning Garut)
127. Eyang Jaya Perkosa ( Gunung Sadakeling Sukaweuning )
128. Syeh Abdul Jalil ( Kp.Dukuh Cikelet )
129. Eyang Nur Yayi ( Suci )
130. Eyang Wangsa Muhamad / Eyang Papak ( Cinunun Wanaraja)
131. Eyang Arif Muhamad ( Situ Cangkuang Leles )
132. Eyang Jaya Karantenan (timanganten)
II. Tasikmalaya.
1. Embah Purbawisesa (Tjigorowong, Tasikmalaya)
2. Embah Kalidjaga Tedjakalana (Tjigorowong, Tasikmalaya)
3. Aki Wibawa (Tjisepan, Tasikmalaya)
4. Prabu Nagara Seah (Mesjid Agung Tasikmalaya)
5. Ki Adjar Santjang Padjadjaran (Gunung Bentang, Galunggung)
6. Nyi Mas Layangsari (Gunung Galunggung)
7. Aki manggala (Gunung Bentang, Galunggung )
8. Mamah Sepuh (Pesantrean Suralaya )
9. Eyang Hemarulloh (Situ Lengkong Pandjalu)
10. Embah Dalem Jayasri (Calingcing Tasikmalaya)
11. Embah Wali Abdullah (Tjibalong Tasikmalaya)
12. Mamah Abu (Pamidjahan Tasikmalaya)
13 Eyang Parana (Kulur Tjipatujah, Tasikmalaya)
14. Prabu Sampak Wadja (Gunung Galunggung Tasikmalaya)
15. Eyang Entjim (Kulur Tjipatujah, Tasikmalaya)
16. Eyang Santon (Kulur Tjipatujah, tasikmalaya)
17. Eyang Singa Watjana (Kulur Tjipatujah, Tasikmalaya
18. Kanjeng Syekh Abdul Muhyi (Pamijahan Tasikmalaya)
19. Eyang Dalem Darpa Nangga Asta (Tasikmalaya)
20. Eyang Dalem Yuda Negara (Pamijahan Tasikmalaya)
21. Prabu Langlang Buana (Padjagalan, Gunung Galunggung )
22. Prabu Tjanar (Gunung Galunggung)
23. Embah Haji Puntjak (Gunung Galunggung)
24. Aki Wibawa (Tjisepan, Tasikmalaya)
25. Prabu Nagara Seah (Mesjid Agung Tasikmalaya)
26. Dalem Sawidak ( Sukapura )
27. Eyang Padakembang ( Padakembang )
28. Eyang Tubagus Anggariji ( Puspahiyang )
III. Ciamis.
1. Eyang Adipati Hariang kuning (Situ Lengkong, Panjalu Ciamis)
2. Eyang Boros Ngora (Situ Lengkong, Pandjalu Ciamis)
3. Kiai Layang Sari (Rantjaelat Kawali Ciamis)
4. Uyut demang (Tjikoneng Ciamis)
5. Eyang Rengganis (Pangandaran Ciamis)
6. Sri Wulan (Batu Hiu, Pangandaran Ciamis)
7. Eyang Adipati Wastukentjana (Situ Pandjalu Ciamis)
8. Ratu Ayu Sangmenapa (Galuh)
9. Eyang Nila Kentjana (Situ Pandjalu, Ciamis)
10. Eyang Hariangkentjana (Situ Pandjalu Ciamis)
11. Ibu Siti Hadji Djubaedah (Gunung Tjupu Banjar Ciamis)
12. Embah Sangkan Hurip (Ciamis)
13. Embah Djaga Lautan (Pangandaran)
14. Eyang Giwangkara (Djaga Baya Ciamis)
15. Eyang Dempul Walang (Djaga Baya Ciamis)
16. Eyang Dempul Wulung (Djaga Baya Ciamis)
17. Eyang Tjakra Dewa (Situ Lengkong, Pandjalu Ciamis)
18. Eyang Hariang Kuning (Situ Lengkong Pandjalu Ciamis)
19. Dewi Tumetep (Gunung Pusaka Padang , Ciamis)
20. Ki Ajar Sukaresi Permana Dikusumah (G. Padang , Ciamis)
21. Eyang Naga Wiru (Gunung Pusaka Padang , Ciamis)
22. Eyang Anggakusumahdilaga (Gunung Pusaka Padang Ciamis)
23. Eyang Puspa Ligar (Situ Lengkong, Panjalu Ciamis)
IV. Sumedang.
1. Embah wali Mansyur (Tomo, Sumedang)
2. Embah Raden Singakarta (Nangtung, Sumedang)
3. Embah Dalem (Wewengkon, Tjibubut Sumedang
4. Embah Bugis (Kontrak, Tjibubut Sumedang)
5. Ratu Siawu-awu (Gunung Gelap, pameungpeuk Sumedang )
6. Embah Gabug (Marongge)
7. Embah Setayu (Marongge)
8. Embah Naidah(Marongge)
9. Embah Naibah (Marongge)
10. Embah Aji putih jaga riksa (Marongge)
11. Embah Nur alim ( Parung gaul )
12. Embah Raden panganten ( Parung gaul )
13. Eyang Geusan ulun ( Dayeuh luhur )
14. Eyang Jaya perkosa ( Dayeuh luhur )
15. Embah Nanganan ( Dayeuh luhur )
16. Embah Terong peot ( Dayeuh luhur )
17. Nyimas ratu Harisbaya ( Dayeuh luhur )
18. Eyang Taji malela ( Gunung Lingga )
19. Embah Durdjana (Sumedang)
20. Embah Panungtung Haji Putih Tunggang Larang Curug Emas (Tjadas Ngampar )
21. Raden AstuManggala (Djemah Sumedang)
22. Eyang Pandita (Nyalindung Sumedang)
23. Raden Balung Tunggal (Sangkan Djaya, Sumedang)
24. Eyang Hadji Tjampaka (Tjikandang, Tjadas Ngampar )
25. Eyang Mundinglaya Dikusumah (sangkan Djaya, Sumedang)
26. Eyang Rangga Wiranata (Sumedang)
27. Dalem Surya Atmaja (Sumedang)
28. Embah Raden Widjaya Kusumah (Tjiawi Sumedang)
29. Embah Raden Singakarta (Nangtung, Sumedang)
V. Bandung.
1. Eyang Angkasa (Gunung Kendang, Pangalengan)
2. Embah Kusumah (Gunung Kendang, Pangalengan)
3. Embah Djaga Alam (Tjileunyi)
4. Sembah Dalaem Pangudaran (Tjikantjung Majalaya,Bandung
5. Embah Landros (Tjibiru Bandung))
6. Eyang latif (Tjibiru Bandung)
7. Eyang Penghulu (Tjibiru Bandung)
8. Nyi Mas Entang Bandung (Tjibiru Bandung)
9. Eyang Kilat (Tjibiru Bandung)
10. Mamah Hadji Umar (Tjibiru Bandung)
11. Mamah Hadji Soleh (Tjibiru Bandung)
12. Mamah Hadji Ibrahim (Tjibiru Bandung)
13. Uyut Sawi (Tjibiru Bandung)
14. Darya binSalmasih (Tjibiru Bandung)
15. Mmah Hadji Sapei (Tjibiru Bandung)
16. Mamah Sepuh ((Gunung Halu Tjililin Bandung)
17. Sembah Dalem Pangudaran (Tjikantjung Cicalengka)
VI. Banten.
1. Embah Hadji Muhammad Pakis (Banten)
2. Uyut Manang Sanghiang (Banten)
3. Embah Santiung (ujung Kulon Banten)
4. SYEH MUHAMMAD SHOLEH GUNUNG SANTRI CILEGON
5. SYEH MUHAMMAD SHIHIB TAGAL PAPA MENGGER
6. SYEH ABDUL RO’UF PARAJAGATI CINGENGE
7. SYEH ABDUL GHANI MENES
8. SYEH MAHDI CARINGIN LABUAN
9. SYEH ABDURROHMAN ASNAWI CARINGIN LABUAN
10. SYEH WALI DAWUD CINGINDANG LABUAN
11. SYEH MACHDUM ABDUL DJALIL KALIMAH BARRONI G. RAMA SUKOWATI LABUAN
12. SYEH CINDRAWULUNG GUNUNG SINDUR TANGERANG
13. SYEH HAJI KAISAN
14. SYEH HAJI SILAIMAN GUNUNG SINDUR
15. SYEH KANJENG KYAI DALEM MUSTOFA GUNUNG SINDUR
16. SYEH KYAI BAGUS ATIK SULAIMAN QHOLIQ SERPONG
17. NYAIMAS RATU PEMBAYUN DIPANG UTARA BLORA
18. NYAIMAS RATU SARANENGAH JAMBI
19. NYAIMAS RATU KAMUDARAGI PALEMBANG
20. PANGERAN JUPRIE RATU JEPARA
21. PANGERAN PRINGGALAYA RATU BETAWI
22. PANGERAN PEJAJARAN RATU BOGOR
23. PANEMBAHAN PEKALONGAN MAULANA YUSUF RATU BANTEN
24. SULTHON MUCHAMMAD SABAKINGKING RATU BANTEN
25. SULTHON ABUL MUFAQIR ‘ABDUL QODIR KENARI
26. SULTHON ABUL MA’ANALI ACHMAD KENARI
27. SULTHON AGUNG ABUL FATEHI ABDUL FATTAH TIRTAYASA
28. SULTHON ABUNNASRI MAULANA MANSUR ABD QOHHAR CIKADUEUN
29. SULTHON ABUL FADLOLI
30. SULTHON ABUL MAHASIN MA’SUM
31. SULTHON ABDUL FATTAH MUHAMMAD SYIFA ZAINUL ‘ARIFIN
32. SULTHON SYARIFUDDIN RATU WAKIL MUHAMMAD WASI’
33. SULTHON ZAINUL ‘ASIKIN
34. SULTHON ABDUL MAFAQIR MUHAMMAD ALIYUDIN AWWAL
35. SULTHON ABDUL FATTAH MUHAMMAD MUHYIDIN ZAINUL SOLIHIN
36. SULTHON MUHAMMAD ISHAQ ZAINUL MUTTAQIN
37. SULTHON WAKIL PANGERAN NATAWIJAYA
38. SULTHON MUHAMMAD AKILLUDI TSANI
39. SULTHON WAKIL PANGERAN SURAMENGGALA
40. SULTHON MUHAMMAD SHOFIYUDIN
41. SULTHON MUHAMMAD ROFI-UDDA (DIASINGKAN DISURABAYA)
42. PARABU DEWARATU PULO PANAITAN
43. PRABU LANGLANG BUANA GUNUNG LOR PULA SARI
44. PRABU MUDING KALANGON PUNCAK MANIK GUNUNG LOR PULASARI
45. PRABU SEDASAKTI TAJO POJOK
46. PRABU MANDITI GUNUNG KARANG
47. PRABU BANGKALENG CANGKANG
48. NYAIMAS RATU WIDARA PUTIH SERAM TENGAH LAUTAN
49. NYAIMAS DJONG
50. KYAI AGU DJU
51. INDRA KUMALA GUNUNG KARANG PEPITU PAKUAN
52. MANIK KUMALA SUNGAI CIUJUNG
53. Raden mbah jangkung kp. cilumayan – sisi cibereno , bayah – banten
54. Syekh maulana Yusuf (Banten)
55. Syekh hasanudin (Banten)
56. Syekh Mansyur (Banten)
57. Syekh Abdul Rojak Sahuna (Ujung Kulon Banten)
58. Embah Buyut Hasyim (Tjibeo Suku Rawayan, Banten)
59. Embah Kusumah (Gunung Kendang, Pangalengan)
VII. Cirebon.
1. Sunan Gunung Jati
2. Eyang Kasepuhan (Talaga Sanghiang, Gunung Ciremai)
3. Embah Mangkunegara (Cirebon)
4. Eyang Ranggalawe (Talaga Cirebon)
5. Syeh Lemah abang
6. Nyimas Gandasari ( Arjawinangun )
7. Eyang Kuwu sangkan
VII. Bogor.
1. Embah Dipamanggakusumah (Munjul, Cibubur)
2. Embah Kihiang Bogor (Babakan Nyampai, Bogor)
3. Embah Dalem Warukut (Mundjul, Cibubur)
4. Eyang Prabu Kencana (Gunung Gede, Bogor )
5. Aki dan Nini Kair (Gang Karet Bogor)
VIII. Subang.
1. Eyang Nulinggih (Karamat Tjibesi, Subang)
IX. Cianjur.
2. Embah Dalem Tjikundul (Mande Cianjur)
3. Embah Dalem Suryakentjana (PantjanitiCianjur)
X. Sukabumi.
1. Embah Keureu (Kutamaneuh Sukabumi)
2. Pangeran qudratulloh di gunung cabe / g. sunda pelabuhan ratu
3. Embah Wijaya Kusumah (G. Tumpeng Pelabuhan Ratu)
XI. Karawang.
1. Eyang Singa Perbangsa (Karawang)
XII. Kadipaten.
2. Embah Buyut Pelet (Djati Tudjuh Kadipaten)
XIII. Indramayu.
3. Sigit Brodjojo (Pantai Indramayu)
XIV. Kuningan.
1. Eyang kuwu sakti ( Gunung halu )

Sunan Papak..

Raden Wangsa Muhammad hidup dipertengahan abad ke-19 M. Dikenal dengan nama Pangeran Papak atau Sunan Papak. Beberapa ratus tahun yang lalu di Kampung Cicunuk hidup seorang kiyai bernama Raden Muhammad Juari dari keluarga keturunan bangsawan Balubur Limbangan. Ia menikah dengan Nyi Raden Siti Injang dan berputera 7 orang, salah satunya (bungsu) bernama Raden Wangsa Muhammad. Putera yang inilah kelak menjadi seorang kiyai mengikuti jejak ayahnya.
Menurut versi silsilah Pangeran Papak, Pangeran Papak atau Raden Wangsa Muhammad adalah keturunan dari Prabu Laya Kusumah (putera Prabu Siliwangi/Sri Baduga Maharaja), Nalendra Pakuan Raharja, yang menikah dengan seorang puteri Prabu Layaranwangi (Sunan Rumenggong) dari Keprabuan Kerta Rahayu bernama Nyi Puteri Buniwangi. Raden Hande Limansenjaya dan Prabu Wastu Dewa. Prabu Hande mempunyai seorang putera bernama Raden Wijaya Kusumah (kemudian terkenal dengan Sunan Cipancar).
Selanjutnya Raden Wijaya Kusumah berputera 14 orang, diantaranya yang sulung bernama Raden Wangsanagara yang melanjutkan keadipatian Galih-Pakuan menggantikan ayahnya itu. Raden Wangsanagara berputera 6 orang, salah satunya Raden Aria Jiwanata yang berputera Dalem Adipati Arya Rangga Megatsari Suryakusumah. Dalem Adipati Rangga Megatsari berputera 9 orang, diantaranya Dalem Adipati Suta Jiwanagara, yang wafat di Mataram dan berputera Dalem Emas di Sukadanah, Sadang, Wanaraja. Sedangkan Dalem Emas berputera 10 orang, diantaranya Dalem Sutanagara di Cinunuk.
Dalem Sutanagara, leluhur keturunan Cinunuk, berputera 8 orang diantaranya seorang perempuan bernama Nyai Rd. Teja Kiyamah, yang menikah dengan Raden Noer Chasim dan berputera 5 orang, diantaranya bernama Rd. Muhammad Aliyam. Raden Muhammad Aliyam menikah dengan Nyi Mas Domas dan dikaruniai putera 3 orang, salah satu diantaranya Raden Muhammad Juwari yang mempunyai putera Raden Wangsa Muhammad.
Raden Wangsa Muhammad dilahirkan di sebuah kampung bernama Cinunuk, kira-kira pada abad ke-18 M (tanggal, bulan dan tahun belum diketahui secara pasti karena belum ditemukan data, baik lisan maupun tulisan). Beliau tumbuh menjadi anak yang cerdas, cekatan dan penurut pada kedua orang tuanya. Hormat pada yang lebih tua, sayang pada teman sebaya. Dalam pergaulan tidak pernah bersikap membedakan dengan anak sebaya dari keluarga apapun walaupun sebenarnya ia sendiri dari keluarga terah menak. Hal tersebut tampak manakala dalam bergaul tidak pernah bersikap mengambil jarak dengan siapapun. Memiliki perilaku demikian Raden Wangsa Muhammad sangat disenangi dan disayangi kalangan orang tua dan anak-anak sebayanya. Karena lahir dari keluarga kiyai maka dengan sendirinya iapun menunjukan tanda-tanda yang agamis.
Ketika Raden Wangsa Muhammad dewasa dan benar-benar telah menunjukan diri sebagai seorang kiyai sikap dan sifatnya yang terpuji semakin nampak, sehingga tak pelak lagi ia menjadi tokoh kharismatik. Hal itu, terutama ditunjukan oleh kearifan dan keluhuran budi pekertinya membuat ia disegani, dihormati dan dijadikan panutan masyarakat sekitar.
Semasa hidup sebagai seorang kiyai Raden Wangsa Muhammad selalu menuntun dan mengajarkan kepada masyarakat agar selalu berbuat kebenaran demi mencapai cita-cita hidup di dunia serta di akhirat kelak. Dalam ajarannya sering diungkapkan agar kita tidak lupa, yaitu ungkapan: Guru Ratu Wong Atua Karo Wajib Sinembah. Artinya kepada guru, pemimpin dan terutama kapada kedua orang tua kita harus selalu menghormati untuk menuju jalan bahagia dan selamat dunia akhirat.
Sikap tidak pernah membeda-bedakan derajat manusia berdasarkan ajaran agama Islam yang menjadi prinsip Raden Wangsa Muhammad. Tidak ada perbedaan antara golongan ningrat dengan golongan cacah. Hal terpenting adalah berakhlakul karimah dan mempunyai niat suci. Atas prinsip dan sikap inilah Raden Wangsa Muhammad mendapat julukan Pangeran Papak.
Pangeran Papak artinyan seorang yang berbudi luhur dan tidak pernah membedakan harkat derajat manusia (papak-Sd.= rata, sama-Ind). Anjuran kepada masyarakat agar hati selalu tentram ialah ulah ngingu kabingung, miara kasusah, sangkan aya dina kagumbiraan manah (agar hati selalu tetap gembira).
Ketertarikannya dalam menghaluskan rasa melalui kesenian tradisi melahirkan karya seni monumental, yaitu kesenian tradisional Boyongan. Terdapat beberapa jenis kesenian tradisi yang selalu dipagelarkan waktu itu, diantaranya: wayang golek, reog, pantun, wawacan (beluk), tembang, karinding, terbang, tari dan boboyongan. Dalam pementasan semua kesenian itu senantiasa diselipkan ajaran Islam berupa petuah, suri tauladan, gambaran bagi orang-orang yang mau berbuat kebenaran, dan larangan-larangan bagi orang yang berbuat kedhaliman. Semasa hidup Raden Wangsa Muhammad banyak didatangi orang yang berkecimpung dalam dunia seni (seniman), para pelajar, dan orang-orang yang bergerak dalam bidang usaha lain untuk belajar ilmu/ budi pekerti yang dimilikinya.
Kecintaannya dalam bidang ilmu pengetahuan melahirkan sebuah karya naskah sastra Sunda kuno berjudul Wawacan Jakah dan Wawacan Aki Ismun. Melalui dua media ini, Pangeran Papak menyebarkan syiar Islam kepada masyarakat luas.
Pada suatu sore, dalam keadaan usia yang sudah uzur, Pangeran Papak merasakan firasat bahwa dirinya tidak akan lama lagi hidup di dunia fana ini. Segera beliau memanggil para sanak saudara dan kerabat dekat hendak menyampaikan wasiat terakhirnya.
Konon, setelah semua hadir Raden Wangsa Muhammad dalam keadaan berbaring di tempat peristirahatan menyampaikan tiga pesan. Pertama, bahwa sebagai manusia kita harus dan mesti percaya pada takdir, percaya bahwa umur telah ditentukan oleh Allah SWT. Kedua, jangan sekali-sekali melupakan dari mana kita berasal dan hendak kemana kembali. Jika kita tidak pernah melupakan hal itu maka akan selamat hidup di dunia dan akhirat nanti. Dan itulah sajatining manusia, hidup sempurna. Ketiga, harus selalu ingat pada Allah sebagai Al-Khalik (pencipta), dengan cara berkomunikasi dengan- Nya melalui ibadah shalat lima waktu. Kehidupan manusia di dunia tidak akan abadi, suatu saat akan dipanggil kehadapan-Nya. Dan di Yaumal Kiamah nanti manusia harus mempertanggung jawabkan segala apa yang pernah perbuat selama hidup di dunia.
Sementara semua yang hadir dengan keadaan tertunduk khusuk mendengarkan pesan-pesan itu, tiba-tiba terdengar ucapan “Lailahaillallah” dari mulut Raden Wangsa Muhammad. Seketika, hadirin terserentak kaget, masing-masing mengangkat kepala seraya melihat kepada Raden Wangsa Muhammad, dan terlihat jelas beliau telah menghembuskan nafasnya terakhir, berpulang ke Rahmatullah. Semua serentak mengucap: “Innalillahi wainna llaihi Roojiun”.
Raden Kiyai Wangsa Muhammad atau Pangeran Papak wafat pada Senin malam tanggal 17 Safar tahun 1317 H, atau tahun 1819 M (tanggal dan bulan masehi belum diketahui) dan dimakamkan keesokan harinya. Dimakamkan disebelah Barat Desa Kecamatan Cinunuk hingga sekarang makamnya banyak dikunjungi peziarah dari luar Kabupaten Garut. Makam tersebut terletak di sebelah barat Desa Cinunuk dalam sebuah bangunan (gedung) makam di atas sebidang tanah seluas 221 m2. Bangunan makam itu terdiri dari bangunan pokok, yang dijadikan tempat pekuburan Pangeran Papak luasnya 96 m2. Bangunan lainnya (satu suhunan) seluas 25 m2 digunakan pekuburan keluarga.
Raden Kiyai Wangsa Muhammad meninggalkan putera dan puteri, yaitu: Rd. Wangsadinata, Rd. St. Satrimah, Rd. Wangsadirya, Rd. Danudiwangsa, Rd. St. Gandaningrum, Rd. Natadiwangsa, Rd. St. Surtiyah, Rd. Satria, Rd. Jayadiwangsa, Rd. Wiradiwangsa, Rd. Wigenadiwangsa, Rd. Atmadiwangsa, Rd. Tisnadiwangsa, Rd. St. Lengkawati.

Sunan Bejagung ,,,,

Sebagai situs makam yang dikeramatkan, makam Sunan Bejagung yang dikelilingi puluhan pepohonan tua berusia ratusan tahun itu oleh masyarakat diyakini menyimpan berkah. Di antaranya dapat mengeluarkan diri dari nasib ruwet (susah), sekaligus sebagai obat mujarab untuk menyembuhkan berbagai luka dan penyakit.
Meski pada awalnya makam ini kurang dikenal sebagaimana makam Sunan Bonang. Namun, situs wisata religi Sunan Bejagung atau Syaikh Abdullah Asy’ari yang konon semasa hidupnya menjadi penyulut pelita dan muadzin di Masjidil Haram ini mulai banyak dikunjungi oleh wisatawan.
Cerita-cerita yang berkembang dimasyarakat mulai menarik para peziarah dan wisatawan untuk menyaksikan langsung lokasi wisata ini. Diantara cerita yang masih menjadi keyakinan masyarakat sekitar yakni bahwa pada masanya hanya Sunan Bejagunglah yang mampu menyulut pelita di Masjidil Haram. Dan, yang menakjubkan, ketika waktu manjing (masuk) shalat isya’ tiba, Sunan Bejagung sudah kembali berada di tengah ratusan santrinya menjadi imam shalat.
Hal menarik lainnya yakni sebuah sumur giling yang digali sendiri oleh Sunan yang terletak di sebelah utara komplek makam. Sumur berbentuk persegi yang dipercaya sebagai salah satu maha karya Sunan Bejagung ini airnya tak pernah kering sepanjang musim bahkan saat musim kemarau terparah sekalipun.  Untuk menaikkan air dari sumur ini, dibuat kumparan besar dari kayu yang diletakkan melintang di atas sumur. Kumparan itu dibuat sedemikian rupa sehingga mudah untuk diputar. Dengan kedalaman 62 meter, bisa dibayangkan betapa sulitnya menaikkan air dengan katrol kecil.
Karena cara pengambilan air yang menggunakan kumparan kayu besar (gilingan).  Seperti pemintal benang yang banyak digunakan para pengrajin batik gedog dari Kecamatan Kerek, Tuban. Maka sumur hasil karya Syeikh Asy’ari tersebut kemudian dinamakan sumur Giling.
Bagi masyarakat Tuban, terutama yang tinggal di wilayah Kecamatan Semanding, Sumur Giling tak ubahnya sumur zam-zam yang ada di Masjidil Haram, Mekkah, Saudi Arabia. Menurut keyakinan masyarakat setempat, air sumur sedalam 62 meter tersebut memiliki berjuta karamah atau kasiat. Keyakinan itulah yang mengundang banyak orang berbondong-bondong datang ke situs makam salah satu penyebar agama Islam di Pulau Jawa ini. Kendati tidak masuk dalam daftar anggota Wali Songo, makam Sunan Bejagung tetap disejajarkan dengan para wali lainnya.
Menurut cerita tutur yang berkembang di masyarakat, pembuatan sumur tersebut dilakukan  hanya butuh waktu satu hari satu malam. Banyak orang percaya air Sumur Giling Sunan Bejagung mengandung energi luar biasa. Lantaran berada pada kedalaman 62 meter di bawah tanah diyakini mampu membuat badan lebih sehat.
Terlepas dari semua mitos tersebut, sumur giling tua peninggalan Sunan Bejagung itu menjadi bukti yang masih tersisa dari peradaban masa lalu bangsa Indonesia. Bahwa sejak zaman Majapahit, bangsa ini telah mengenal tehnologi  pengeboran, hal itu tidak bisa terbantahkan dengan bukti-bukti yang masih ada seperti Sumur Giling Sunan Bejagung tersebut.
Satu lagi yang menarik dari situs makam ini adalah Gugusan batu yang bernama Watu Gajah. Konon, batu-batu tersebut penjelmaan dari gajah tentara Majapahit yang hendak  membawa pulang paksa Pangeran Kusumohadi yang mengaji kepada Sunan Bejagung
Pangeran Kusumohadi adalah  putra Prabu Hayam Wuruk, salah satu raja Majapahit. Setelah mengetahui  bahwa anaknya mengaji di Padepokan Sunan Bejagung Tuban, maka sang prabu  memerintahkan patihnya Gajah Mada menjemput. Mendengar rencana itu, Pangeran Kusumohadi memohon kepada Sunan Bejagung untuk membantunya menolak kehendak Prabu Hayam Wuruk.
Kehendak pangeran tersebut dikabulkan Sunan Bejagung. Untuk melindungi sang pangeran, Sunan Bejagung menggaret tanah sekitar Padepokan Kasunanan Bejagung yang sampai sekarang dikenal dengan Siti  Garet.
Mitos lain yang terkait dengan  karomah Sunan Bejagung lor (utara) adalah pantangan warga Bejagung memakan ikan  meladang (jenis ikan laut). Mitos  ini terkait dengan pengalaman Sunang Bejagung yang terapung di laut dan ditolong ikan tersebut.
Awalnya, tidak ada istilah Sunan  Bejagung Lor (utara) dan Sunan Bejagung Kidul (selatan) karena Sunan Bejagung memang hanya  satu yaitu Maulana Abdullah Asya’ari Sunan Bejagung. Kisah ini berawal  dari datangnya seorang santri yang dikirim oleh Syeh Jumadil Kubro. Namanya, Pangeran Kusumohadi yang tidak lain putra Prabu Brawijaya IV atau Prabu Hayam Wuruk dari salah seorang selirnya.
Karena  alim, sholeh, dan ketauhidannya sangat tinggi, akhirnya Kusumohadi  diambil menantu Sunan Bejagung. Melihat kemampuan menantunya  dalam mengajarkan agama, Hasyim Alamuddin dipasrahi siar di wilayah  Bejagung Kidul. Sementara Syekh Maulana Abdullah Asy’ari berpindah atau  uzlah ke Bejagung bagian utara (Bejagung Lor).
Di kawasan ini juga terdapat kompleks pemakaman Citro Sunan yang letaknya hanya dibatasi jalan raya jurusan Tuban – Bojonegoro. Terletak di Desa Bejagung, Kecamatan Semanding Tuban. Berjarak sekitar satu kilometer ke selatan dari kota Tuban, atau satu jalur dengan obyek wisata pemandian Bektiharjo.

Sunan Sendang Duwur..

Sunan Sendang Duwur bernama asli Raden Noer Rahmad adalah putra Abdul Kohar Bin Malik Bin Sultan Abu Yazid yang berasal dari Baghdad (lrak). Raden Nur Rahmad lahir pada tahun 1320 M dan wafat pada tahun 1585 M. Bukti ini dapat dilihat pada pahatan yang terdapat di dinding makam beliau. Beliau adalah tokoh kharismatik yang pengaruhnya dapat disejajarkan dengan Wali Songo pada saat itu.

Bangunan Makam Sunan Sendang Duwur yang dikeramatkan oleh penduduk sekitar tersebut berarsitektur tinggi yang menggambarkan perpaduan antara kebudayaan Islam dan Hindu. Bangunan gapura bagian luar berbentuk Tugu Bentar dan gapura bagian dalam berbentuk Paduraksa. Sedangkan dinding penyangga cungkup makam dihiasi ukiran kayu jati yang bernilai seni tinggi dan sangat indah. Dua buah batu hitam berbentuk kepala Kala menghiasi kedua sisi dinding penyangga cungkup.

Makam Sunan Sendang Duwur yang letaknya di atas bukit itu, terdapat di Desa Sendang Duwur, Kecamatan Paciran. Walaupun komplek makam terletak di dataran yang cukup tinggi, tetapi bisa dijangkau oleh kendaraan umum ataupun pribadi. Sarana jalan yang sudah baik dan memadai memudahkan para pengunjung yang ingin kesana untuk berwisata ziarah.

Boyong Masjid dalam Semalam

Situs makam Raden Noer Rachmat alias Sunan Sendang Duwur makin ramai pengunjung. Selain berziarah, mereka ingin melihat peninggalan bersejarah salah satu sunan berpengaruh dalam syiar agama Islam di Jawa itu.

SEJARAH penyebaran agama Islam di Pulau Jawa tidak bisa dipisahkan dari sejarah Sunan Sendang Duwur. Bukti peninggalan, makam dan masjid kuno, memberi jawaban bagaimana kiprah sunan yang makamnya terletak di Desa Sendang Duwur, Kecamatan Paciran, Kabupaten Lamongan, itu.

Data dari berbagai sumber menyebutkan, masjid kuno itu menyimpan sejarah yang berbeda dengan pembangunan masjid lainnya. Sebab, tempat ibadah umat Islam ini tidak dibangun secara bertahap oleh Sunan Sendang Duwur, melainkan melalui suatu kemukjizatan.

Ada yang mengatakan Sunan Sendang Duwur sebagai putra Abdul Qohar dari Sedayu (Gresik), salah satu murid Sunan Drajad. Ada pula yang menyebut Sunan Sendang Duwur adalah putra Abdul Qohar tapi tidak berguru pada Sunan Drajad. Namun dari perbedaan itu, disepakati bahwa Raden Noer Rochmat akhirnya diwisuda Sunan Drajad sebagai Sunan Sendang Duwur.

Setelah mendapat gelar sunan, Raden Noer berharap bisa mendirikan masjid di Desa Sendang Duwur. Karena tidak mempunyai kayu, Sunan Drajad menyampaikan masalah ini kepada Sunan Kalijogo yang mengarahkannya pada Ratu Kalinyamat atau Retno Kencono di Mantingan, Jepara, yang saat itu mempunyai masjid.

Ratu Kalinyamat merupakan putri Sultan Trenggono dari Kraton Demak Bintoro. Suaminya bernama Raden Thoyib (Sultan Hadlirin Soho) cucu Raden Muchayat, Syech Sultan dari Aceh. Saat diangkat menjadi bupati di Jepara, R. Thoyib tidak lupa bersyiar agama Islam. Sehingga dibangun masjid megah di wilayahnya pada 1531 Masehi. Banyak ulama dan kiai saat itu kagum terhadap keindahan dan kemegahan masjid tersebut.

Setelah itu Sunan Drajat memerintahkan Sunan Sendang Duwur pergi ke Jepara untuk menanyakan masjid tersebut. Tapi apa kata Mbok Rondo Mantingan saat itu? Hai anak bagus, mengertilah, aku tidak akan menjual masjid ini. Tapi suamiku (saat itu sudah meninggal, Red) berpesan, siapa saja yang bisa memboyong masjid ini seketika dalam keadaan utuh tanpa bantuan orang lain (dalam satu malam), masjid ini akan saya berikan secara cuma-cuma.

Mendengar jawaban Mbok Rondo Mantingan, Sunan Sendang Duwur yang masih muda saat itu merasa tertantang. Sebagaimana yang diisyaratkan padanya dan tentunya dengan izin Allah, dalam waktu tidak lebih dari satu malam masjid tersebut berhasil diboyong ke bukit Amitunon, Desa Sendang Duwur. Masjid Sendang Duwur pun berdiri di sana, ditandai surya sengkala yang berbunyi: "gunaning seliro tirti hayu" yang berarti menunjukkan angka tahun baru 1483 Saka atau Tahun 1561 Masehi.

Tapi cerita lain menuturkan, masjid tersebut dibawa rombongan (yang diperintah Sunan Drajad dan Sunan Sendang Duwur) melalui laut dari Mantingan menuju timur (Lamongan) dalam satu malam. Rombongan itu diminta mendarat di pantai penuh bebatuan mirip kodok (Tanjung Kodok) yang terletak di sebelah utara bukit Amitunon di Sendang Duwur.

Rombongan dari Mantingan itu disambut Sunan Drajat dan Sunan Sendang Duwur beserta pengikutnya. Sebelum meneruskan perjalanan membawa masjid ke bukit Amitunon, rombongan itu diminta istirahat karena lelah sehabis menunaikan tugas berat.

Saat istirahat, sunan menjamu rombongan dari Mantingan itu dengan kupat atau ketupat dan lepet serta legen, minuman khas daerah setempat. Berawal dari sini, sehingga setiap tahun di Tanjung Kodok (sekarang Wisata Bahari Lamongan) digelar upacara kupatan.

Ajaran Relevan

Dari masjid inilah Sunan Sendang Duwur terus melakukan syiar agama Islam. Salah satu ajaran yang masih relevan pada zaman sekarang adalah : "mlakuho dalan kang benar, ilingo wong kang sak burimu" (berjalanlah di jalan yang benar, dan ingatlah pada orang yang ada di belakangmu. Ajaran sunan ini menghimbau pada seseorang agar berjalan di jalan yang benar dan kalau sudah mendapat kenikmatan, jangan lupa sedekah.

Hubungan Sunan Drajad dengan Sunan Sendang Duwur sangat erat dalam siar agama Islam, dan hubungan itu terus mengalir sampai kini. Terlihat, tidak jarang para peziarah ke makam Sunan Drajad di Desa Drajad, Kec. Paciran untuk singgah ke Sunan Sendang Duwur.

Masjid itu kini sudah berusia 477 tahun (didirikan R. Thoyib di Mantingan pada 1531). Karena usianya yang tua, beberapa konstruksi kayunya terpaksa diganti dan yang asli tetap disimpan di lokasi makam, di sekitar masjid. Maski masjid kuno itu sempat dipugar, arsitektur masjid peninggalan wali ini masih tampak dan menggambarkan kebesaran pada zamannya.

Bangunan yang menunjukkan Hinduistis masih tampak di masjid dan makam. Meski halaman dan makam menyatu, masjid ini mempunyai halaman sendiri-sendiri.

Dari arah jalan, yang tampak lebih dulu adalah kompleks pecandian. Sedangkan gapura halaman berbentuk mirip Candi Bentar di Bali. Bentuk candi seperti ini telah dikenal sejak zaman Majapahit, seperti Gapura Jati Pasar dan Waringin Lawang

Kyai Raden Santri ...........

Magelang – Riwayat penyebaran agama Islam di Magelang Jawa Tengah agaknya berlangsung sejak ratusan tahun lalu. Sejumlah kisah tentang ulama yang dimakamkan di daerah ini menandakan Islam telah berkembang pada awal berdirinya Mataram Islam.
Salah satu jejak yang bisa ditengok saat ini adalah bukit yang terletak tak jauh di Muntilan. Di atas bukit berketinggian 400 meter di atas permukaan laut itu, terdapat makam Pangeran Singasari atau dikenal dengan Kiai Raden Santri, seorang ulama yang hingga kini makamnya ramai didatangi peziarah.
Sesuai kondisinya, bukit itu bernama Gunungpring. Dalam bahasa Jawa, pring bermakna bambu. Desa tempat bukit berada pun bernama Gunungpring dan berjarak satu kilometer dari jalan raya Magelang-Yogyakarta.
Pangeran Singasari atau Kiai Raden Santri adalah salah satu putra Ki Ageng Pemanahan, pendiri kerajaan Mataram Islam. Berbeda dengan saudaranya, Panembahan Senopati, yang meneruskan memimpin kerajaan, Kiai Raden Santri lebih memilih menyebarkan Islam hingga pelosok daerah di Jawa Tengah.
Menurut Kiai Abdul Qowaid atau mbah Qowaid, 65 tahun, seorang keturunan Kyai Raden Santri, awalnya kakek buyutnya itu berkeliling Jawa Tengah untuk menyebarkan Islam sebelum akhirnya menetap di Gunungpring. “Disini pengikutnya bertambah banyak,” kata dia pada Tempo, Kamis (26/8) sore.
Untuk mencapai makam Kiai Raden Santri, peziarah harus menapaki deretan anak tangga sepanjang setengah kilometer. Di kanan-kiri tangga, berderet kios yang menjajakan aneka makanan, pakaian, buku doa hingga perlengkapan ibadah. Di bulan Ramadan seperti saat ini, kios itu memilih tutup meliburkan diri.
Makam itu berada dalam komplek bangunan pemakaman. Selain terdapat sebuah Musalla yang diberi nama Pangeran Singasari, dalam cungkup itu pun terdapat makam keturunan Kyai Raden Santri. Diantaranya adalah Kiai Krapyak III (keturunan ketiga), Kyai Haji Harun (keturunan keempat) dan Kiai Abdullah Sajad (keturunan kelima).
Adapun Kiai Krapyak I (keturunan pertama) dimakamkan di Watucongol – berjarak satu kilometer dari Gunungpring- dan Kiai Krapyak II (keturunan kedua) dimakamkan di Kalibawang Yogyakarta.
Kiai Abdul Qowaid mengaku sebagai putera dari Kiai Abdullah Sajad (keturunan kelima). “Saya yang bungsu,” kata dia.
Di bulan Ramadan seperti saat ini, banyak orang berdiam di dalam cungkup. Tak jarang, para peziarah yang datang dari berbagai daerah itu berdiam hingga berbulan-bulan lamanya. Mereka menghabiskan waktu dengan beribadah, membaca al Quran dan membaca doa. “Pada malam Jumat jumlahnya lebih banyak lagi,” kata Anwar, seorang peziarah asal Sleman Yogyakarta.
Lelaki yang telah berdiam selama sebulan di cungkup itu menuturkan, layaknya makam Wali Songo, makam Kiai Raden Santri merupakan salah satu makam ulama yang menjadi tujuan peziarah. Di hari biasa di luar bulan Ramadan, peziarah datang berombongan dengan menggunakan bus.
Bahkan karena kedekatan silsilahnya dengan Panembahan Senopati, pada waktu tertentu keluarga Kraton Yogyakarta juga datang berziarah ke makam itu. Seperti diketahui, Panembahan Senopati merupakan raja Mataram Islam yang menurunkan keturunan raja-raja di Kraton Surakarta dan Yogyakrta.
Mbah Qowaid mengingatkan, meski terbilang putra Ki Ageng Pemanahan dan saudara dari Panembahan Senopati, namun Kiai Raden Santri telah melepas gelar ningrat yang disandangnya. Bahkan untuk anak cucunya. Dengan sepenuh hati, Kiai Raden Santri telah mengabdikan hidupnya untuk penyebaran Islam. “Ah tidak usah, saya ini orang biasa,” kata dia tertawa saat ditanya gelar ningratnya.

sunan bungkul...

Hingar-bingar lakon lahirnya banyak kampung di Surabaya hingga akhir abad 19 menyisakan sebuah kampung legendaris, yaitu Desa Bungkul. Sejak 1920-an desa ini tergusur dan hanya menyisakan sepetak kebun karena ada makam tokoh penyebar Islam, Sunan Bungkul.

Bentuk Desa Bungkul masih ditemukan di peta Surabaya terbitan 1872. Bahkan dalam peta Surabaya 1900, desa ini tampak luas dan dipenuhi sawah di bagian barat. Perkampungannya berada di sisi timur Kalimas. Batas selatan desa adalah di persimpangan jalan Marmoyo sekarang, batas sebelah timur di Jl Adityawarman sekarang, dan sebelah utara dibatasi dengan kampung Dinoyo. Ada nama Desa Darmo di utara Desa Bungkul saat itu.

Siapa sosok Sunan yang dimakamkan di Bungkul itu? Nama Mbah Bungkul ditemukan di Babad Ngampeldenta terbitan 2 Oktober 1901 yang naskah aslinya terdapat di Yayasan Panti Budaya Jogjakarta. Selain itu, juga ada Babad Risakipun Majapahit Wiwit Jumenengipun Prabu Majapahit Wekasan Dumugi Demak Pungkasan yang disimpan di Perpustakaan Reksopustoko Surakarta.

Sulitnya menemukan sosok ini bahkan dibenarkan sejarahwan mendiang GH Von Faber pada bukunya Oud Soerabaia, terbitan 1931. Faber mencatat kesan Bungkul dalam bahasa Belanda yang kira-kira terjemahannya demikian: Orang-orang tua melarang menceritakan apa pun tentang Bungkul ini. Pelanggaran terhadap larangan itu pasti diganjar hukuman. Si pelanggar akan diancam oleh jin, diisap darahnya oleh kelelawar, lehernya dipelintir dan sebagainya, demikian pula ibu, istri, dan anak-anaknya akan mendapatkan celaka. Masih banyak ancaman mengerikan yang ditulis Von Faber.

Saat ini, penjelasan paling banyak bahwa sosok ini adalah keturunan Ki Gede atau Ki Ageng dari Majapahit. Kompleks makam ini eksotis. Di dalamnya masih tersisa suasana Kampung Bungkul di tengah kota yang sibuk. Ada gapura ala Majapahit, terdapat mushala lama, gazebo bersosoran rendah. Belasan makam lain berada di bawah rerimbunan pohon-pohon tua.

Tidak ditemukan kisah yang sahih. Yang bisa di lakukan hanyalah mengumpulkan kepingan-kepingan kisah tentang sosok ini dari beberapa catatan lama itu sekalipun itu juga masih bisa diperdebatkan.

Selain di Taman Bungkul, sejumlah makam pengikut Bungkul banyak tersebar di kawasan Darmo. Sebagian sudah tergusur, beberapa masih bertahan. Salah satunya di temukan 'tercecer' di depan Kantor Kecamatan Tegalsari Jl. Tanggulangan, sekitar 100 meter dari Jl. Raya Darmo atau 300 meter sebelah utara makam Mbah Bungkul. Namanya makam Mbah Kusir, diyakini kusirnya Mbah Bungkul.
***

Awalnya Mbah Bungkul bernama Ki Ageng Supa. Sewaktu masuk Islam, berganti menjadi Ki Ageng Mahmuddin. Ia diperkirakan hidup di masa Sunan Ampel pada 1400-1481. Supa mempunyai puteri Dewi Wardah.

Sahibul hikayat, Supa ingin menikahkan puterinya. Namun ia belum mendapatkan sosok yang diharapkan. Lalu Supa mengambil delima dari kebunnya dan bernazar, siapa pun lelaki yang mendapatkan buah ini, akan saya jodohkan dengan anakku, nazarnya.

Delima itu dihanyutkan ke Sungai Kalimas yang mengalir ke utara. Alur air sungai ini bercabang di Ngemplak menjadi dua. Di percabangan kiri menuju Ujung dan ke kanan menjadi kali Pegirikan. Tampaknya delima itu `berenang` ke kanan. Karena suatu pagi santri Sunan Ampel yang mandi di Pegirikan Desa Ngampeldenta, menemukan delima itu.

Sang santri pun menyerahkannya ke Sunan Ampel. Oleh Sunan Ampel delima itu disimpan. Besoknya, Supa menelusuri bantaran Kalimas. Sesampainya di pinggiran, ia melihat banyak santri mandi di sungai. Supa, yakin disinilah delima itu diselamatkan oleh salah satu di antaranya. Apakah ada yang menemukan delima, tanya Supa setelah bertemu Sunan Ampel. Raden Paku, murid Sunan Ampel dipanggil dan mengaku. Singkat cerita Raden Paku dinikahkan dengan anak Supa.

Syech Nurul Jati ....

Syekh Datuk Kahfi (dikenal juga dengan nama Syekh Idhofi atau Syekh Nurul Jati) adalah tokoh penyebar Islam di wilayah yang sekarang dikenal dengan Cirebon. Beliau juga merupakan leluhur dari raja-raja Sumedang era Islam.
Beliau pertama kali menyebarkan ajaran Islam di daerah Amparan Jati. Syekh Datuk Kahfi merupakan buyut dari Pangeran Santri (Ki Gedeng Sumedang), penguasa di Kerajaan Sumedang Larang, Jawa Barat.
Menurut legenda, di pantai utara Jawa Barat terdapat dua buah pesantren yang terkenal dan dipimpin oleh orang-orang keturunan Arab. Yang satu berada di Karawang, dipimpin oleh Syekh Quro dan yang satu lagi di Amparan Jati dipimpin oleh Syekh Nurjati atau Syekh Nurul Jati.
Sedangkan Syekh Dzatul Kahfi atau lebih mudah disebut Syekh Datuk Kahfi atau Syekh Datuk Khafid yang bernama asli Idhafi Mahdi, adalah seorang muballigh asal Baghdad . Beliau tiba di Pelabuhan Muara Jati bersama rombongan sebanyak 22 orang, dua diantaranya adalah wanita, dan diterima dengan baik oleh Ki Jumajan Jati, sang syahbandar Pelabuhan Muara Jati, yang kemudian memperbolehkannya untuk menetap di sana.

Syekh Datuk Kahfi bersama rombongannya kemudian menjadi murid dari Syekh Nurjati. Bahkan kemudian, ketika memasuki usia yang telah lanjut, Syekh Nurjati lalu menunjuk Syekh Datuk Kahfi sebagai penggantinya untuk memimpin di pesantren Amparan Jati.
Tatkala Syekh Datuk Kahfi memimpin pesantren, majelis pengajiannya di Gunung Amparan Jati menjadi makin terkenal. Banyak sekali santri-santri yang ikut belajar agama Islam, diantaranya ialah putra-putri Prabu Siliwangi dengan Nyai Subanglarang. Mereka adalah Raden Walangsungsang dengan istrinya Indang Geulis, dan adiknya Nyai Rarasantang.
Mereka inilah yang kemudian berperan dalam Pembangunan Cirebon dan juga syiar Islam di wilayah Jawa Barat. Bahkan kemudian Raden Walangsungsang menjadi pendiri sekaligus Pemimpin di Cirebon.
Peran Kiai Syekh Datuk Kahpi dan para santrinya kala itu dalam membangun kejayaan Cirebon tampak sangat menonjol. Islam di Cirebon kala itu berkembang pesat hingga mengalahkan agama yang lama, ternyata dibangun bukan dengan gerakan anarkis atau dengan perjuangan yang berdarah-darah. Kiai Syekh Datuk Kahpi mensyiarkan Islam dengan mewujudkan sabda Rasulullah saw., yakni dengan menebar citra bahwa Islam itu adalah agama yang menebar rahmatan lil ‘alamin.
Rupanya Kiai Syekh Datuk Kahpi paham benar tentang ajaran Islam sebagaimana yang di firmankan Allah SWT dalam Alquran Surat Al- Qashash:77 yang terjemahannya berbunyi, “…dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan“.
Di bawah ini merupakan silsilah Syekh Datuk Kahfi yang bersambung dengan Sayyid Alawi bin Muhammad Sohib Mirbath hingga Ahmadal-Muhajir bin Isa ar-Rumi (Hadramaut, Yaman) dan seterusnya hingga Imam Husain, cucu Nabi Muhammad SAW yang syahid terbunuh dalam pembantaian di Padang Karbala, Iraq.
Nabi Muhammad SAW, berputeri
  • Sayidah Fatimah az-Zahra menikah dengan Imam Ali bin Abi Thalib, berputera
  • Imam Husain a.s, berputera
  • Imam Ali Zainal Abidin, berputera
  • Muhammad al-Baqir, berputera
  • Imam Ja’far ash-Shadiq, berputera
  • Ali al-Uraidhi, berputera
  • Muhammad al-Naqib, berputera
  • Isa al-Rumi, berputera
  • Ahmad al-Muhajir, berputera
  • Ubaidillah, berputera
  • Alawi, berputera
  • Muhammad, berputera
  • Alawi, berputera
  • Ali Khali’ Qosam, berputera
  • Muhammad Sahib Mirbath, berputera
  • Sayid Alwi, berputera
  • Sayid Abdul Malik, berputera
  • Sayid Amir Abdullah Khan (Azamat Khan), berputera
  • Sayid Abdul Kadir, berputera
  • Maulana Isa, berputera
  • Syekh Datuk Ahmad, berputera
  • Syekh Datuk Kahfi
Syekh Datuk Kahfi wafat dan dimakamkan di Gunung Jati, bersamaan dengan makam Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati), Pangeran Pasarean, dan raja-raja Kesultanan Cirebon lainnya.

mbah Kuwu Sangkan..

enurut babat, Syeikh Mursyahadatillah yang nama ali ketika mudanya Pangeran Walangsungsang adalah putra Raja Pajajaran IX, lengkapnya

Pangeran Walangsungsang bin Prabu Siliwangi bin Raja Mundingkawati bin Angga Larang bin Banyak Wangi bin Banyak Larang bin Susuk Tunggal bin Wastu Kencana bin Lingga bin Linggahiang bin Ratu Sari Purba bin Raja Ciung Wanara.

Disamping itu masih ada beberapa julukan lain, diantaranya adalah sebagai berikut :
1. Gagak Lumayung, Nama julukan ketika menjadi Pendekar

2. Pangeran Cakrabuana, Nama julukan setelah berhasil menyempurnakan ilmu cakrabirawa warisan dari MBAH KUWU SANGKAN dan babat tanah Cirebon

3. Somadullah, Nama julukan karena mampu menyelesaikan pendidikannya di Samodra Pasai dan Jazirah Arab

4. Abdullah Iman, Nama julukan yang diberikan sang Guru sekembalinya ia menunaikan ibadah Haji di Tanah Suci Mekkah

5. Sri Mangara, Nama julukan ketika ia di anggkat menjadi kuwu Cirebon menggantikan sang mertua Ki Gde Alang alang

6. Syeikh Mursyahadatillah, Nama julukan setelah menghabiskan hari-hari tuanya untuk kerja da’wah

Sementara Ibunya bernama Ratu Subang larang atau Subang Rancang Putri Ki Gedeng Tapa Mangkubumi Singapura atau Martasinga yang memeluk agama Islam di Pesantren Quro Kerawang asuhan Syeikh Maulana Hasanuddin bin Yusuf Sidiq Al Sinni.
Ibunya merupakan pelanjut perintisan Islam di Cirebon hasil didikan pamannya yang menjadi peletak dasar tumbuh dan berkembangnya penganut-penyiar agama Islam ditatar Sunda, dikenal sebagai Syeikh Baharuddin alias Syeikh Maulana Syafiuddin alias Haji Purwa alias Ki Gde Bratalegawa.

Pangeran Cakrabuwana lahir dikeraton Pajajaran bertepatan dengan Tahun 1423 Masehi. Pada masa mudanya ia memperoleh pendidikan yang berlatar belakang kebangsawanan dan politik, kurang lebih 17 tahun lamanya ia hidup di Istana Pajajaran. Setelah dewasa ia melarikan diri dari Istana dan pergi menuju Gunung Dihyang yang terletak di Padepokan Resi Danuwarsih, masuk wilayah Parahiyangan Bang Wetan. Resi Danuwarsih adalah seorang Pendeta Budha yang menjadi penasehat Keraton Galuh, ketika Ibukota Kerajaan masih di Karang Kamulyan Ciamis. Sulit dibayangkan bagaimana keteguhan Sang Pangeran yang muslim, berguru kepada seorang Pendeta yang secara lahiriah masih beragama Budha. Mungkin saja secara hakiki sang Danuwarsih sudah Islam meskipun tingkah lakunya masih Hindu-Budha. Tetapi yang Jelas kedatangan Putra Sulung Prabu Siliwangi di Padepokan Gunung Dihyang disambut suka cita oleh pendeta Danuwarsih. Dan untuk menyempurnakan kegembiraan tersebut, sang Guru menikahkan putrid satu-satunya yang bernama Endang Geulis.
Darinyalah lahir seorang putri yang bernama Nyai Mas Pakungwati yang kelak kemudian hari menjadi permaisuri Kanjeng Sunan Gunung jati.

Menurut naskah Pustaka Negara Kretabumi, diterangkan bahwa tempat Padepokan Ki Gde Danuwarsih adalah Parahiyangan Bang Wetan.
Sementara menurut penelitian Yosrph Iskandar yang diprakarsai LEMLIT UNPAS disebutkan bahwa di kaki Gunung Dieng terdapat beberapa situs Pangeran Cakrabuwana :
Pertama, Makam keramat Sembah Wali Tanduran, yang diduga bekas petilasan Sang pangeran pajajaran.

Kedua, Makam Pajajaran dibukit Sigabung, diperkirakan petilasan tempat Pangeran Cakrabuwana melakukan tafakur untuk mencari jati diri dan Sangkan Paraning Dumadi.

Ketiga, Makam Pajajaran di Pacalan Kampung Sebelas, diyakini sebagai tempat tinggal Putra Mahkota Kerajaan Pajajaran.

Setelah melihat peta lokasi, petilasan-petilasan tersebut dapat dihubungkan melalui garis lurus, terbentang antara gunung Dieng sampai Cirebon. Berdasarkan identifikasi tersebut, mungkin saja Pangeran Cakrabuwana pernah tinggal di Padepokan agama Budha di datran tinggi Dieng atau barangkali pada masa itu dataran tinggi Dieng masih termasuk wilayah Parahiyangan Bang Wetan sebagaimana diterangkan dalam naskah Pustaka Negara Kretabumi.

Disamping mendapatkan keturunan dari putrid Ki Gde Danuwarsih, Pangeran Cakrabuwana juga memperoleh beberapa putra dari istri yang lain yaitu :
1. Dari Putri Kamboja,
Nyai Mas Sejati dikaruniai 7 (tujuh) orang anak antara lain :
1. Nyai Mas Rara Kanda
2. Nyai Mas Rara Sejati
3. Nyai Jati Marta
4. Nyai jamaras
5. Nyai Mas Campa
6. Nyai Rasa Melasi
7. Nyai Mas Merta Singa.

2. Dari Putri Ki Gde Alang-alang,
Yang bernama Nyi Mas Ratna Riris dikaruniai seorang anak yang bernama Pangeran Carbon yang kemudian dibesarkan dibawah asuhan kakanya di Cirebon Girang

3. Dari Putri Ki Gde Suranaya,
Penguasa Sidapurna yang bernama Nyi Mas Wandansari dikaruniai seorang anak yang bernama Maulana Arifin. Maulana Arifin inilah yang kelak berjodoh dengan adiknya Ki Gde Loragung yang bernama Nyi Mas Ratu Selawati

Selain Panglima Ulung, Pangeran Cakrabuwana adalah pencipta Kebudayaan pasundan Islami.
Dalam masa 4 abad lamanya yaitu menaklikan Pajajaran, Keraton Ayahandanya yang Hindu. Karena itu ia diberi gelar kehormatan Pangeran Cakrabuwana.

Pangeran Cakrabuwana mulai memerintah Cirebon pada tanggal 1 Suro tahun 1445 Masehi. Waktu itu ia belum mencapai usia 22 tahun. Memang masih terlalu muda, tetapi ia mampu memegang kendali pemerintahan selama 38 tahun sejak tahun 1445 hingga tahun 1479.

Pangeran Cakrabuwana, adalah orang kuat dalam catatan sejarah Islam Tanah pasundan, ia bukan saja dikenal sebagai penakluk dan Panglima Perang yang ulung dan sukses, tetapi juga memiliki criteria kepeloporan Pengembangan Ilmu Pengetahuan dan Peradaban yang sangat tinggi. Ia senantiasa menaruh perhatian besar terhadap berbagai macam Ilmu Pengetahuan, Sastra dan Seni Budaya, melestarikan dan mengembangkannya.

Ayahnya, Prabu Siliwangi telah mencurahkan perhatian dan mendidiknya dengan Ilmu Kemiliteran, Politik dan Kesaktian sejak kecil. Dan demi mencerdaskannya ia diserahkan kepada ulama-ulama besar pada zamannya yang menguasai bidang kajian Ilmu Agama Islam, Sastra, Falak dan Kesaktian. Mereka adalah :
Syeikh Qurotullain, Syeikh Nurjati, Syeikh Bayanillah, Ki Gde Danuwarsi, Ki Gde Naga Kumbang dan Ki Gde Bango Cangak dsb.

Ketika Prabu Siliwangi masih memerintah di Kerajaan Pajajaran, Pangeran Cakrabuwana sebagai anak masih menaruh rasa hormat dan segan kepada Kerajaan Pajajaran. Tetapi ketika Ayahandanya telah tiada, rasa hormat dan keseganan Cirebon kepada pajajaran menjadi sirna. Prabu Surawisesa sebagai penerus Sang Prabu Siliwangi benar-benar harus berpikir dan bekerja keras untuk mempertahankan kejayaan Kerajaan Pajajaran.

Panji-panji Islam mulai berkibar di Cirebon, Kuningan, Majalengka, Indramayu, Subang, Sumedang, Purwakarta, Kerawang, Priangan, Bogor yang kemudian merambat ke BANTEN.
Dengan demikian wilayah Keraton Cirebon menjadi satu antara bagian utara dan selatan, antara Cirebon dan Banten. Dan Ibukota Kerajaan Cirebon dipindahkan ke Lemah Wungkuk. Disanalah kemudian didirikan Keraton baru dinamakan Keraton Pakungwati.

Sumber-sumber setempat menganggap pendiri Keraton Cirebon adalah Pangeran Cakrabuwana. Namun, orang yang berhasil meningkatkan statusnya menjadi sebuah Kesultanan adalah Syeikh Syarif Hidayatullah yang oleh Babad Cirebon dikatakan identik dengan Sunan Gunung jati. Sumber ini juga mengatakan bahwa Sunan Gunung jati adalah keponakan dan pengganti Pangeran Cakrabuwana. Dialah pendiri dinasti Raja-raja Cirebon dan juga Banten.

Sementara kehidupan Pangeran Cakrabuwana dimasa tuanya memang sesuai dengan kehidupan orang-orang darwis. Ia selalu mengembara ke berbagai tempat. Sekali waktu ia diberitakan berada di pajajaran dan dijuluki sebagai Garantang Setra Walangsungsang . Pada saat lain lagi diberitakan pula bahwa ia sudah berada di bagian kulon jawa dikenal dengan julukanPangeran Gagak Lumayung, dan pada kesempatan lain ia sudah berada di kawasan Cirebon terus dikenal dengan nam Syeikh Mursyahadatillah. Di bagian Jawa Barat bagian Selatan ia mengumumkan dirinya dengan nama Sunan Rahmat Suci.

Akhirnya pada Tahun 1529 masehi, Pangeran Cakrabuwana yang dikenal dengan Syeikh Mursyahadatillah pulang Kerahmatullah. Kehilangan “Wong Agung Cirebon Seuweu Siliwangi”.
Pangeran Cakrabuwana alias Haji Abdullah Iman alias Somadullah alias Syeikh Mursyahadatillah yang sangat disegani dikawasan timur, mempengaruhi suasana duka kerabat Keraton Cirebon. Dialah yang sebenarnya direstui Sri Baduga Maharaja Siliwangi untuk menjadi Penguasa Kerajaan Pakungwati Cirebon sebagai Sri Mangana.
Dialah peletak dasar fondasi Islam di Jawa Barat. Tanpa bimbingan dan kerelaan hati dirinya, tidak myngkin Syeikh Syarif Hidayatullah naik tahta menjadi Susuhunan Jati, walaupun didukung oleh para Wali Songo lainnya. Dialah sebagai pelindung posisi Syeikh Syarif Hidayatullah sebagai anak adiknya, dan sekaligus sebagai menantunya.

Pangeran Cakrabuwana atau Mbah Kuwu Sangkan atau Syeikh Mursyahadatillah dimakamkan di Keramat Gunung Sembung yang telah dibangun sebelumnya di atas Komplek Masjid yang tiang sakanya merupakan hadiah Syeikh Maulana Hasanuddin bin Yusuf Sidiq Al Sinni yang lebih dikenal sebagai Syeikh Quro Kerawang. Masjid inilah yang kemudian popular dengan MASJID CIPTARASA.